Selasa, 10 November 2009

ISLAM NORMATIF DAN ISLAM HISTORIS

Dalam ranah kajian Islam kontemporer, penguasaan terhadap semua hal tentang Islam, baik sejarah, politik, ekonomi maupun agama (normatif) sangatlah penting dan mendesak. Penting karena Islam baik secara normatif ataupun Historis, merupakan acuan utama untuk memahami dengan baik Islam yang kini sudah menjelma dalam aneka-ragam bentuk dan orientasi. Mendesak karena hampir semua kelompok Islam, dengan variasi corak dan orientasinya, mengklaim bahwa pemahaman keislaman mereka merupakan cerminan bahkan copy-paste dari Islam Nabi Muhammad dan para generasi setelahnya.
Lantas apakah yang dimaksud dengan Islam ? Sependek pengamatan penulis, Islam mencakup tiga hal.
Pertama, Islam dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga wafatannya (610-632 M). Kedua,Islam dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga akhir kekhilafahan Ali bin Abi Thalib (632-661 M). Ketiga, Islam Perdana dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga runtuhnya Dinasti Umayyah (610-750 M). Dari tiga opsi tersebut, penulis cenderung pada opsi pertama, karena pada masa inilah Islam secara langsung berada di tangan pembawanya, Muhammad, serta di bawah pengawasan penciptanya, Allah.
Melacak Islam bukan perkara mudah, selain karena sangat jauhnya bentangan masa antara masa kini dan masa Muhammad. Kesulitan utama yang dihadapi para peneliti biasanya juga terletak pada problem sejarah Islam. Setidaknya, problem ini disebabkan dua hal. Pertama, sangat minimnya bukti sejarah tertulis dari masa-masa awal Islam yang sampai ke tangan kita. Kedua, kesalahan penulis sejarah.
Problem pertama, misalnya, bukti sejarah tertulis tersebut hanya Alqur`an dan beberapa catatan hadits Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Kita tak memungkiri adanya beberapa penulis awal sejarah Nabi seperti Urwah bin al-Zubair bin al-Awwam, Aban bin Utsman bin Affan, Musa bin Uqbah, dan Muhammad bin Ishak, tapi tak ada satu pun dari catatan mereka yang sampai ke tangan kita (Muhdi, 2007: 147). Catatan sejarah Nabi paling awal yang sampai ke tangan kita adalah catatan sejarah Ibnu Hisyam yang dia ringkas dari al-Sîrah wa al-Maghâzî karya Ibnu Ishak. Sayangnya, Ibnu Hisyam tak pernah berguru pada Ibnu Ishak dan tak mengambil catatan sejarah ini secara oral darinya, tapi hanya melalui para perantara.
Problem kedua, kesalahan penulis sejarah bisa disebabkan ketidakjelian dalam menganalisa data-data yang ada, atau bahkan sengaja salah dalam menulis sejarah Islam seiring dengan kecenderungannya. Penggambaran zaman Jahiliah sebagai zaman nomadisme yang kacau serta merosotnya akhlak dan sosial untuk menunjukkan keagungan dan peran Islam adalah bukti terbaik untuk poin kedua (al-Dauri, 2007: 20). Oleh karena itu, kita dituntut ekstra hati-hati dalam membanding-bandingkan catatan-catatan sejarah yang ada untuk memperoleh informasi yang akurat seputar Islam .
Dari Alqur`an, rujukan paling otoritatif yang kita miliki (itu pun kalau kita sepakat tentang hal ini), kita bisa menyimpulkan bahwa secara umum Islam mempunyai beberapa karakteristik.
Karakter pertama adalah progresif. Ia senantiasa berproses dari “ketidaksempurnaan” menuju kesempurnaan. Dengan kata lain,Islam tak turun secara langsung dari langit dengan seabrek norma yang kita lihat sekarang, tapi ia berangsur-angsur melengkapi dirinya seiring tuntutan situasi dan kondisi pada saat itu.Islam adalah proses Islam Normatif dan Islam Historis sekaligus. Turunnya Alqur`an selama 22 tahun lebih dan adanya konsep abrogasi ayat (nasikh-mansukh) adalah bukti paling gamblangnya.
Karakter kedua adalah otonom. Kita bisa melihatnya terutama dalam segi akidah pada fase Islam Mekah.Islam tak segan-segan mencela tuhan atau berhala sembahan Quraisy serta menyeru keesaan Tuhan. Di sinilah kita bisa mengerti alasan di balik turunnya ayat-ayat Makkiyah. Dalam Islam, tak ada tawar-menawar dalam persoalan akidah. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu kita menolak cerita al-Gharânîq, yang tersebar dalam buku-buku sejarah Islam seperti al-Thabaqât al-Kubrâ karya Ibnu Sa’ad dan al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, yang mensinyalir Nabi sempat mengagungkan Lata, Uzza, dan Manath guna menarik simpati Quraisy karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam (Haekal, 1996: xciv).
Karakter ketiga adalah revolusioner.Islam muncul di Mekah. Kala itu ia merupakan ibukota Jazirah Arabia (al-Shamad, 1994: 30).Islam muncul dengan semangat perkotaan dan mengambil posisi oposan terhadap trend nomadisme dalam banyak persoalaan-persoalan prinsipil, seperti melawan fanatisme kesukuan dan menggantinya dengan ikatan kepercayaan serta melampaui batasan-batasan kesukuan dengan pembentukan konsep umat yang maslahatnya di atas maslahat lainnya (al-Dauri, 2007: 44-46).Islam pun menggugurkan tradisi-tradisi butuk Arab pra-Islam seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup (QS. 81: 8-9), praktek riba (QS. 2: 275-276), dan lain-lain. Selain itu, Islam juga mengangkat derajat wanita yang salah satunya melalui pengurangan jatah poligami (QS. 4: 3).
Karakter keempat adalah adaptif-akomodatif. Artinya, selain membawa ajaran baru, Islam juga mengadaptasi bahkan mengadopsi tradisi-tradisi Arab pra-Islam. Fakta ini bisa kita temukan baik di bidang ibadah maupun muamalah. Di bidang ibadah, ritual haji dan umrah merupakan tradisi Arab sebelum Islam yang dimodifikasi. Kemudian Islam mengadapsinya dengan mengadopsi sebagian ritualnya apa adanya, seperti wukuf di Arafah dan melempar tiga jumrah, serta mengadaptasi sebagian yang lain, seperti tawaf dan talbiyah. Sementara di bidang muamalah,Islam melarang seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara, nikah mut’ah, nikah badal, nikah shighar, dan nikah istibdha’ serta tetap mewajibkan mahar (Muthawik, 2006: 71-74). Bahkan Khalil Abdul Karim, intelektual Marxis-Muslim Mesir, mengarang buku khusus tentang ini dengan judul al-Judzûr al-Târikhiyah lî al-Syarî’ah al-Islâmiyah (Akar-Akar Kesejarahan Syariat Islam).
Karakter kelima adalah otoritatif-otentik. Dalam artian,Islam ada di tangan pembawanya, Muhammad, dan di bawah pengawasan langsung penciptanya, Allah. Poin
ini merupakan keistimewaan yang tak dimiliki oleh masa-masa Islam pasca-Muhammad wafat. Karena keistimewaan inilah, aneka bentuk Islam yang ada mengklaim dirinya sebagai cerminan bahkan copy-paste darinya, meski belum tentu demikian, bahkan tidak mirip sama sekali. Poin inilah yang sering dilupakan umat Islam sejak Muhammad wafat hingga detik ini, terutama pihak yang merasa diri paling Islam dan menganggap umat Islam lainnya pasti salah. Intinya, Islam tak akan pernah terulang kembali.


TUGAS MASUK DARI QISTI AZHARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar