Selasa, 10 November 2009

ISLAM NORMATIF DAN ISLAM HISTORIS

Dalam ranah kajian Islam kontemporer, penguasaan terhadap semua hal tentang Islam, baik sejarah, politik, ekonomi maupun agama (normatif) sangatlah penting dan mendesak. Penting karena Islam baik secara normatif ataupun Historis, merupakan acuan utama untuk memahami dengan baik Islam yang kini sudah menjelma dalam aneka-ragam bentuk dan orientasi. Mendesak karena hampir semua kelompok Islam, dengan variasi corak dan orientasinya, mengklaim bahwa pemahaman keislaman mereka merupakan cerminan bahkan copy-paste dari Islam Nabi Muhammad dan para generasi setelahnya.
Lantas apakah yang dimaksud dengan Islam ? Sependek pengamatan penulis, Islam mencakup tiga hal.
Pertama, Islam dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga wafatannya (610-632 M). Kedua,Islam dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga akhir kekhilafahan Ali bin Abi Thalib (632-661 M). Ketiga, Islam Perdana dimulai sejak Muhammad menerima wahyu hingga runtuhnya Dinasti Umayyah (610-750 M). Dari tiga opsi tersebut, penulis cenderung pada opsi pertama, karena pada masa inilah Islam secara langsung berada di tangan pembawanya, Muhammad, serta di bawah pengawasan penciptanya, Allah.
Melacak Islam bukan perkara mudah, selain karena sangat jauhnya bentangan masa antara masa kini dan masa Muhammad. Kesulitan utama yang dihadapi para peneliti biasanya juga terletak pada problem sejarah Islam. Setidaknya, problem ini disebabkan dua hal. Pertama, sangat minimnya bukti sejarah tertulis dari masa-masa awal Islam yang sampai ke tangan kita. Kedua, kesalahan penulis sejarah.
Problem pertama, misalnya, bukti sejarah tertulis tersebut hanya Alqur`an dan beberapa catatan hadits Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Kita tak memungkiri adanya beberapa penulis awal sejarah Nabi seperti Urwah bin al-Zubair bin al-Awwam, Aban bin Utsman bin Affan, Musa bin Uqbah, dan Muhammad bin Ishak, tapi tak ada satu pun dari catatan mereka yang sampai ke tangan kita (Muhdi, 2007: 147). Catatan sejarah Nabi paling awal yang sampai ke tangan kita adalah catatan sejarah Ibnu Hisyam yang dia ringkas dari al-Sîrah wa al-Maghâzî karya Ibnu Ishak. Sayangnya, Ibnu Hisyam tak pernah berguru pada Ibnu Ishak dan tak mengambil catatan sejarah ini secara oral darinya, tapi hanya melalui para perantara.
Problem kedua, kesalahan penulis sejarah bisa disebabkan ketidakjelian dalam menganalisa data-data yang ada, atau bahkan sengaja salah dalam menulis sejarah Islam seiring dengan kecenderungannya. Penggambaran zaman Jahiliah sebagai zaman nomadisme yang kacau serta merosotnya akhlak dan sosial untuk menunjukkan keagungan dan peran Islam adalah bukti terbaik untuk poin kedua (al-Dauri, 2007: 20). Oleh karena itu, kita dituntut ekstra hati-hati dalam membanding-bandingkan catatan-catatan sejarah yang ada untuk memperoleh informasi yang akurat seputar Islam .
Dari Alqur`an, rujukan paling otoritatif yang kita miliki (itu pun kalau kita sepakat tentang hal ini), kita bisa menyimpulkan bahwa secara umum Islam mempunyai beberapa karakteristik.
Karakter pertama adalah progresif. Ia senantiasa berproses dari “ketidaksempurnaan” menuju kesempurnaan. Dengan kata lain,Islam tak turun secara langsung dari langit dengan seabrek norma yang kita lihat sekarang, tapi ia berangsur-angsur melengkapi dirinya seiring tuntutan situasi dan kondisi pada saat itu.Islam adalah proses Islam Normatif dan Islam Historis sekaligus. Turunnya Alqur`an selama 22 tahun lebih dan adanya konsep abrogasi ayat (nasikh-mansukh) adalah bukti paling gamblangnya.
Karakter kedua adalah otonom. Kita bisa melihatnya terutama dalam segi akidah pada fase Islam Mekah.Islam tak segan-segan mencela tuhan atau berhala sembahan Quraisy serta menyeru keesaan Tuhan. Di sinilah kita bisa mengerti alasan di balik turunnya ayat-ayat Makkiyah. Dalam Islam, tak ada tawar-menawar dalam persoalan akidah. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu kita menolak cerita al-Gharânîq, yang tersebar dalam buku-buku sejarah Islam seperti al-Thabaqât al-Kubrâ karya Ibnu Sa’ad dan al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, yang mensinyalir Nabi sempat mengagungkan Lata, Uzza, dan Manath guna menarik simpati Quraisy karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam (Haekal, 1996: xciv).
Karakter ketiga adalah revolusioner.Islam muncul di Mekah. Kala itu ia merupakan ibukota Jazirah Arabia (al-Shamad, 1994: 30).Islam muncul dengan semangat perkotaan dan mengambil posisi oposan terhadap trend nomadisme dalam banyak persoalaan-persoalan prinsipil, seperti melawan fanatisme kesukuan dan menggantinya dengan ikatan kepercayaan serta melampaui batasan-batasan kesukuan dengan pembentukan konsep umat yang maslahatnya di atas maslahat lainnya (al-Dauri, 2007: 44-46).Islam pun menggugurkan tradisi-tradisi butuk Arab pra-Islam seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup (QS. 81: 8-9), praktek riba (QS. 2: 275-276), dan lain-lain. Selain itu, Islam juga mengangkat derajat wanita yang salah satunya melalui pengurangan jatah poligami (QS. 4: 3).
Karakter keempat adalah adaptif-akomodatif. Artinya, selain membawa ajaran baru, Islam juga mengadaptasi bahkan mengadopsi tradisi-tradisi Arab pra-Islam. Fakta ini bisa kita temukan baik di bidang ibadah maupun muamalah. Di bidang ibadah, ritual haji dan umrah merupakan tradisi Arab sebelum Islam yang dimodifikasi. Kemudian Islam mengadapsinya dengan mengadopsi sebagian ritualnya apa adanya, seperti wukuf di Arafah dan melempar tiga jumrah, serta mengadaptasi sebagian yang lain, seperti tawaf dan talbiyah. Sementara di bidang muamalah,Islam melarang seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara, nikah mut’ah, nikah badal, nikah shighar, dan nikah istibdha’ serta tetap mewajibkan mahar (Muthawik, 2006: 71-74). Bahkan Khalil Abdul Karim, intelektual Marxis-Muslim Mesir, mengarang buku khusus tentang ini dengan judul al-Judzûr al-Târikhiyah lî al-Syarî’ah al-Islâmiyah (Akar-Akar Kesejarahan Syariat Islam).
Karakter kelima adalah otoritatif-otentik. Dalam artian,Islam ada di tangan pembawanya, Muhammad, dan di bawah pengawasan langsung penciptanya, Allah. Poin
ini merupakan keistimewaan yang tak dimiliki oleh masa-masa Islam pasca-Muhammad wafat. Karena keistimewaan inilah, aneka bentuk Islam yang ada mengklaim dirinya sebagai cerminan bahkan copy-paste darinya, meski belum tentu demikian, bahkan tidak mirip sama sekali. Poin inilah yang sering dilupakan umat Islam sejak Muhammad wafat hingga detik ini, terutama pihak yang merasa diri paling Islam dan menganggap umat Islam lainnya pasti salah. Intinya, Islam tak akan pernah terulang kembali.


TUGAS MASUK DARI QISTI AZHARI

USAHA ABU BAKAR DLM PENGEMBANGAN ISLAM DAN PENYELESAIAN KAUM RIDAD & NABI PALSU

A. Biografi Abu Bakar Shiddiq

Namanya Abdullah Ibnu Abi Qufahah at Tamimi. Di masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah kuniyahnya Abu Bakar.

Panggilan Abu Bakar Sidik ini sebenarnya adalah sebagai gelar saja. “Abu” artinya bapak, “Bakar” artinya dengan segera (beliau dinamai demikian karena beliau masuk Islam dengan segera, mendahului yang lain). Kemudian “Ash-Shiddiq”, artinya “yang amat membenarkan”. Karena beliau amat membenarkan berbagai pengalaman dan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, terutama peristiwa Isra Mi’raj. Beliau lahir pada tahun 568 M sebelum hijrah, ayahnya bernama Abu Quhafah bin Amir dan ibunya bernama Salma Ummul Khair.

Abu Bakar berasal dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka’b. Nasabnya bertemu dengan Nabi pada Adnan. Abu Bakar itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja seperti yang sudah kami sebutkan sebutkan, tetapi mereka memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua orang tuanya. Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan masa remaja, sampai apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul Khair, sebenarnya Salma bint Sakhr bin Amir.

Sekalipun keluarga Abu Bakar berdiam pada bagian bawah kota Mekkah yang bernama Masfalah, (bekas rumah kediamannya itu sekarang ini dijadikan sebuah mesjid kecil dan dapat dikunjungi oleh setiap orang yang menunaikan Rukun Kelima ke Tanah Suci), dan keluarga Muhammad berdiam pada bagian atas kota Mekkah yang dewasa ini dipanggilkan dengan Syiab-Ali , (bekas rumah kelahiran Nabi Muahmmad itu sekarang ini dijadikan Gedung Perpustakaan dan dapat dikunjungi oleh setiap orang yang menunaikan Rukun Kelima Ke Tanah Suci), akan tetapi antara kedua anak muda itu semenjak kecilnya terikat persahabatan yang akrab.

Dan ada juga yang mengatakan Abu Bakar tadinya bernama Atiq, karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka’bah dan akan disedekahkan kepada Ka’bah. Sesudah Abu Bakar hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq , seolah ia telah dibebaskan dari maut.

Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika Aisyah putrinya ditanyai; mengapa Abu Bakar diberi nama Atiq ia menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakar datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang siapa yang ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini.

Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia menikah dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma’.Asma’ inilah yang kemudian dijuluki Zaitun Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia menikah lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimar. Dari perkawinan ini lahir pula Abdurrahman dan Aisyah. Kemudian di Madinah ia menikah dengan Habibah bint Kharijah. Setelah itu dengan Asma bint Umais yang melahirkan Muhammad. Sementara usaha dagangannya berkembang pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.

Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas, begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin.

Tentang pribadinya, Abu Bakar, terkenal sebagai orang yang berakhlak mulia, jujur, cerdas, cakap, kuat kemauan dan pemberani, tetapi beliau terkenal pula sebagai orang yang rendah hati pemaaf dan dermawan.

Pada masa jahiliyyah, Abu Bakar adalah seorang saudagar kaya. Ia sering melakukan perjalanan perdagangan untuk menjaja barang dagangannya. Dalam pekerjaannya sebagai saudagar, ia selalu jujur sehingga banyak keuntungan yang diperolehnya karena percaya dengan timbangan yang dilakukannya. Kejujuran ini terus terbawa sampai ia masuk Islam dan selalu mendampingi Nabi Muhammad saat suka dan duka.

Terdapat satu riwayat mengatakan bahwa dia mempunyai kekayaan sebesar empat puluh dirham sebelum dia masuk Islam, tetapi setelah ia menyatakan sebagai pengikut setia Nabi Muhammad SAW, dan ikut hijrah ke Madinah, harta kekayaannya tinggal lima ribu dirham. Hal ini disebabkan karena setiap dia melihat adanya penganiayaan seorang hamba sahaya, ia beli kemudian dibebaskannya.

Oleh karena semua itu, bukan saja ia laki-laki dewasa yang pertama masuk Islam, tetapi juga orang yang paling banyak berkorban, paling teguh, di samping orang yang tenang dan patuh di antara para sahabat Nabi yang lain.

Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.

Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :

* Bilal bin Rabah

* Abu Fakih

* Ammar

* Abu Fuhaira

* Lubainah

* An Nahdiah

* Ummu Ubays

* Zinnira

B. Aktifitas Dakwah Abu Bakar Shiddiq

Sejak hari pertama Abu Bakar sudah bersama-sama dengan Muhammad melakukan dakwah demi agama Allah. keakraban masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya. besar pengaruhnya terhadap muslimin yang mula-mula itu dalam islam itu. yang mengikuti jejak Abu bakar menerima islam ialah Usman bin Affan, abdur-Rahman bin auf, talha bin ubaidillah, sa’ad bin abi waqqas dan zubair bin awam. sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk islam atas ajakan abu bakar ialah abu ubaidah bin jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk mekah.

Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakar tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu kemudian Rasulullah berkata :

ﻤﺎﺪﻋﻮﺖﺃﺣﺪﺍﺇﻠﻰﺍﻹﺴﻼﻢﺇﻻﻜﺎﻧﺖﻋﻨﺪﻩﻔﻴﻪﻜﺒﻮﺓﻭﻨﻈﺮﻮﺘﺮﺪﺪﺇﻻﻤﺎﻜﺎﻦﻤﻦﺃﺒﻰﻘﺣﺎﻔﺔﻤﺎﻋﻜﻢﺣﻴﻦﺬﻜﺮﺗﻪﻠﻪﻭﻤﺎﺗﺮﺪﺪﻔﻴﻪ

“Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bi abu Qufahah. Ia tidak menuggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya.”

Abu Bakar Shidiq dipilih oleh Nabi Muhammad menjadi sahabat dalam perjalanan menuju Madinah ketika hijrah. Peran yang dimainkan Abu Bakar Siddiq ini ketika di Mekah sangat besar sekali. Di bidang materi, segala kekayaan yang dimilikinya digunakan untuk perjuangan

dan kejayaan Islam, dan demi kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar selalu mendampingi Nabi dalam saat suka dan duka.

Pengorbanan dan jasanya ketika berdakwah di Mekah besar sekali. Ia berusaha melindungi Nabi Muhammad ketika banyak orang kafir Quraisy mengejek dan menganggap Nabi Muhammad orang tak waras. Dialah yang memberikan perlindungan Nabi saat mendapat kejaran para pemuda kafir Quraisy yang berusaha mengejar Nabi waktu perjalanan ke Madinah

Ketika berada di Madinah, Abu Bakar juga selalu mendampingi Nabi Muhammad dan berusaha membantu Nabi dalam proses penyebaran agama Islam di kalangan masyarakat Madinah, yang terdiri dari masyarakat yang beragama Yahudi, Nashrani dan penganut kepercayaan lainnya.

Peran Abu Bakar ketika di Madinah ialah, beliau selalu ikut bersama Rasulullah berperang melawan kekuatan yang menentang ajaran Nabi Muhammad SAW antara lain dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandak, dan peperangan-peperangan lainnya pada waktu itu.

Demikian setianya Abu Bakar kepada Nabi dan agama Islam, sehingga seluruh kekuatan yang dimilikinya semua dikerahkan untuk kepentingan dan kejayaan Islam. Ini tidak hanya ketika ia berada di kota Mekah, tetapi juga pada periode Madinah. jasa beliau sangat dalam upaya pengembangan ajaran Islam di kota Madinah,terlebih saat ia terpilih sebagai seorang khalifah rasyidah yang pertama, yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam.

Sesudah Rasulullah wafat, kaum Anshor menghendaki agar orang yang akan jadi Khalifah dipilih dari antara mereka. Dalam pada itu Ali ibnu Abi Thalib menginginkan agar beliaulah yang diangkat menjadi khalifah, berdasarkan kedudukan beliau dalam Islam, apalagi beliau adalah menantu dan karib Nabi. Tetapi bahagian terbanyak dari kaum Muslimin menghendaki Abu Bakar, maka dipilihlah beliau jadi khalifah.

Orang-orangyang tadinya ragu-ragu untuk memberikan bai’ah kepada Abu Bakar, di kala golongan terbanyak dari kaum Muslimin telah membai’ahnya segera pula memberikan bai’ahnya.

sesudah Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, beliau berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan siasat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Di bawah ini kita kutip beberapa prinsip-prinsip yang diucapkannya dalam pidatonya itu, antara lain beliau berkata :

„Wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bila mana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku“.

C. Pemerintahan di Masa Abu Bakar

Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, pada satu sisi memberikan kemudahan tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah, namun pada sisi lain munculnya penolakan orang-orang Arab, terutama orang yang baru masuk Islam untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar, bahkan mereka menentang Islam. Hal ini tidak mengherankan karena mereka menganggap bahwa masuknya mereka kedalam Islam disebabkan oleh perjanian yang dibuat dengan Muhammad, dan dengan kematian beliau, maka batallah perjanjian tersebut. Mereka adalah para muallaf yang belum memahami prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam yang lain, disebabkan belum cukup waktu bagi nabi yang sangat tidak mungkin dapat dijangkau oleh utusan agama yang datang pada mereka.

Pada masa awal pemerintahannya, Abu Bakar banyak menghadapi gangguan dari berbagai golongan, antara lain orang-orang murtad, golongan yang tidak mau membayar zakat, dan nabi palsu. Adanya orang-orang murtad ini disebabkan karena mereka belum memahami benar tentang Islam, mereka baru dalam taraf pengakuan, ataui masuk Islam karena terpaksa. Sehingga ketika Rasulullah wafat, mereka langsung kembali kepada agama semula. Karena mereka beranggapan bahwa kaum Quraisy tidak akan bangun lagisetelah pemimpinnya, Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Di samping itu mereka tidak dapat memisahkan antara agama dan Rasul pembawanya. Maka setelah meninggalnya Rasulullah, mereka tidak terikat lagi dengan agama Islam lalu kembali kepada ajaran agamanya semula.

Golongan orang yang tidak mau membayar zakat, kebanyakan berasal dari kabilah yang banyak yang tinggal di kota Madinah, seperti Bani Gathfan , Bani Bakar, dan lain-lain. Mereka beranggapan bahwa membayar zakat hanya kepada Nabi Muhammad, dan setelah Nabi wafat, maka tidak ada lagi kewajiban untuk membayar zakat.

Sedangkan orang-orang yang mengaku sebagai nabi, sudah mulai muncul pada hari-hari terakhir kehidupan Nabi Muhammad, walaupun mereka masih menyembunyikan tujuan mereka sebenarnya.Namun setelah Nabi Muhammad wafat, mereka semakin berani menunjukkan keinginan mereka, sebagai pengacau dan nabi-nabi palsu.

Untuk mengatasi kekacauan tersebut, khalifah Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Akhirnya dengan kesepakatan bersama, semua golongan yang telah menyeleweng itu harus diperangi, salah satunya adalah perang Riddah, sampai mereka mau kembali kepada kebenaran.

Perang Riddah (perang melawan kemurtadan) pun berjalan alot. Di bawah kepemimpinan Khalid ibnu Walid, akhirnya perang dapat diakhiri dengan kemenangan ditangan pemerintahan Abu Bakar. Namun akibat yang muncul adalah tewasnya banyak diantara sahabat yang hafal Al-Qur’an (Qori) karena keikut sertaan mereka dalam perang tersebut.

Mereka adalah penghafal bagian-bagian Al-Qur’an. Melihat situasi ini, Umar merasa cemas karena mungkin makin bertamnya para Qori yang tewas akan menghilangkan sebagian Al-Qur’an. dengan alasan inilah akhirnya Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan Al-Qur’an.Abu Bakar pada mulanya tidak setuju dengan usulan tersebut, karena tidak ada otoritas dari nabi untuk membukukan Al-Qur’an, namun kemudian ia setuju dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya.

Perilaku politik lain yang di jalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. ada dua ekspansi yang dilakukan Abu Bakar, yaitu :

Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid bin Walid . Dalam ekspansi ini (tahun 634 M), pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah, sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia. Daerah ini merupakan penyebaran bangsa Arab dari selatan, namun mereka dijadikan pintu masuk penyebaran islam ke wilayah di belahan timur dan utara.
Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang, yaitu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid ibn Sufyan dan Syurahbil. Ekspansi ke wilayah Romawi yakni kerajaan Ghassaniyah, yang merupakan daerah protektorat Romawi dan menjadi benteng pertahanan dari serbuan Persia.
Usaha Abu Bakar melakukan dakwah Islam itulah yang dikagumi. Barang kali ada juga orang yang berpandangan semacam dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainyasecara diam-diam dan tak perlu berterang-terang di depan umum agar percagangannya selamat, berjalan lancar.

Dan barang kali Nabi Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakar dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamnya, inilah yang belum pernah dilakukan orang;kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran.

Orang demikian ini sudah berada diatas kepentingan pribadinya sehari-hari. Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwahuntuk agama, segala kebesaran dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka.

Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuh-musuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian jiwanya dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orang-orang tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya oleh musuh kebenaran itu.

Tetapi abu bakar sendiri pun tidak bebas dari gangguan quraisy. sam halnya dengan Muhammad sendiri byang juga tidak lepas dari gangguan itudengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di kalangan kaum nya serta perlindungan bani hasyim kepadanya. setiap Abu Bakar melihat Muhammad di ganggu oleh Quraisy ia selalu siap membelanya danmempertaruhkan nyawanyauntuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan,bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan quraisy terhadap rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka di cela.

khalifah abu bakar adalah panglima tertinggi dalam angkatan perang. dia yang menunjuk panglima besar dan kepala-kepala pasukan.Strategi dan taktik perang banyak yang didiktekan dari madina. sungguhpun demikian khalid, panglima besarnya, kita lihat banyakn di beri kekuasaan dan kepercayaan. munurut sewajarnya, khalifah sendiri yang memimpin angkatan jihad ke medan perang. tetapi front dan medan pertempuran telah dua tiga dan urusan kenegaraan telah begitu berjalin, maka untuk komando umum ditunjukkan sahabat-sahabat yang ahli dalam ketentaraan. adapun shalat jama’ah dan shalat jum’at di ibu kota tetap di tangan khalifah abu bakar, karena shalat dan jum’at adalah tiang agama.

Organisasi dan mekanisme pemerintahan abu bakar adalah begitu kuat dan merata. perhubungan antara pusat (madinah) dengan daerah sampai kepada instansi yang terendah di suku-suku kabilah rapat sekali. itu adalah juga sebagai hasil dari kemenangan abu bakar di peperangan Riddah.

Hal yang demikian sangat memberikan kemungkinan kepada ’’Hukum“ untuk timbul menonjol tinggi, dan kepadanya ’’ Kekuasaan“ untuk mengembangkan sayapnya. maka sebagai kelanjutannya dari itu, lahirlah masa baru dan zaman gemilang yaitu masa kemakmuran dan kebahagiaan hidup menuruti filsafat islam yang tersimpul di dalam ’’Baldatun taiyiban wa rabbun gafur“(Negara makmur dilindungi tuhan yang pengampun).

sebenarnya memang hukum dan kekuasaanlah yang dapat menjamin kemakmuran umat. hukum menciptakan keamanan.hukum mengatur sistem pengumpulan dan pembagian rezeki.hukum menentukan hak dan kewajiban, dan hukum pulalah dengan seluruh sangsi-sangsi yang menjamin berjalannya seluruh undang-undang dan peraturan.

D. Prestasi dan Pesan Abu Bakar

1. Prestasi Abu Bakar Pada Masa Pemerintahannya

Bukankah ini merupakan salah satu keajaiban sejarah?! Dalam jangka waktu dua tahun tiga bulan bangsa-bangsa yang memberontak itudapat kembali tenang dan menjadi bangsa bersatu yang kuat, disegani dan berwibawa, yang akhirnya malah dapat menerobos dua imperium besar yang ketika itu menguasai dunia dan menentukan arah kebudayaannya. Kedaulatan ini pula yang kemudian mengemban peradaban di dunia selama berabad-abad sesudahnya. (Abu Bakar muhammd haikal husain hal 341)

Adapun prestasi yang lain yang ditempuh pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah :

1. Perbaikan sosial (masyarakat)

2. Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an

3. Perluasan dan penyebaran agama Islam

4. Menghadapi orang murtad dan orang yang tidak membayar zakat

5. Memberantas orang-orang yang menganggapnya beliau sebagai nabi.

2. Adapun pesan-pesan yang disampaikan oleh Abu Bakar adalah sebagai berikut :

Khulafaur Rasyidin yang pertama dan Sahabat utama Rasulullah SAW, Sayidina Abu Bakar As Siddiq pernah meninggalkan pesan, katanya:

1. Siapa yang memasuki kubur dengan tidak membawa bekalan samalah seperti orang yang belayar di lautan dengan tidak berperahu.

2. Kegelapan itu ada lima perkara dan penerangnya juga ada lima perkara yaitu:

a. Cinta dunia itu kegelapan dan penerangnya adalah taqwa.

b. Dosa itu kegelapan dan penerangnya adalah taubat.

c. Akhirat itu kegelapan, penerangnya adalah amal soleh.

d. Kubur itu kegelapan, penerangnya adalah kalimah La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.

e. Siratul Mustaqim itu kegelapan, penerangnya adalah yakin.

3. Sesungguhnya iblis itu berdiri di hadapanmu, nafsu di sebelah kananmu, dunia di belakangmu, anggota di sekelilingmu dan Allah juga bersamamu. Iblis yang dilaknat menyuruhmu meninggalkan agama. Nafsu menyuruhmu
berbuat maksiat. Keinginan hawa nafsu menyerumu ke arah syahwat. Dunia menyeru supaya memilihnya daripada Akhirat. Anggotamu menyerumu berbuat dosa. Allah menyerumu ke Syurga dan keampunan-Nya.

Siapa yang menyahut seruan iblis terkeluarlah agamanya. Siapa yang menyahut seruan nafsu terkeluar rohnya (roh kemanusiaan). Siapa yang menyahut seruan syahwat, terkeluar akalnya. Siapa yang menyahut seruan anggota, terkeluarlah Syurganya. Siapa yang menyahut seruan Allah,
terkeluarlah kejahatannya dan memperolehi segala kebaikan.

4. Sayidina Abu Bakar berkata: Terdapat lapan perkara yang menjadi perhiasan kepada lapan perkara:

Menjaga perkara yang haram, perhiasan kepada fakir.Syukur perhiasan kepada nikmat Sabar perhiasan kepada bala.Tawaduk perhiasan kepada kemuliaan.Berlemah lembut perhiasan kepada ilmu.Merendah diri perhiasan kepada orang yang bercakap.Meninggalkan riyak perhiasan kepada kebaikan.Khusyuk perhiasan kepada sembahyang.

5. Sesungguhnya hamba itu apabila datang ujub dengan sesuatu dari perhiasan dunia nescaya Allah memurkainya hingga dia menceraikan perhiasan itu.

6. Moga-moga aku jadi pokok kayu dicantas kemudian dimakan.

7. Dia berkata kepada para Sahabat:Sesungguhnya aku telah mengendalikan urusan kamu, tetapi bukanlah aku ini orang yang paling baik di kalangan kamu maka tolonglah aku, kalau aku berlaku lurus maka ikutilah aku tetapi kalau aku menyeleweng betulkan aku.

E. Wafatnya Abu Bakar

Khalifah Abu Bakar ra. Meniggal dunia, senin, 23 agustus 624 M setelah lebih kurang 15 hari terbaring di tempat tidur. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.

Dalam masa yang singkat itu Abu Bakar telah menghadapi sat-saat yang amat genting. Dapat kita katakan bahwa pada permulaan saat-saat yang amat genting itu Abu Bakar adalah berdiri sendiri, kemudian berkat iman dan keyakinannya yang kuat, maka kaum Muslimin lekas juga menyokong dan mendukung pendapat dan buah pikirannya. Dalam keadaan yang demikian beliau dapat mengerahkan kaum muslimin menghancurkan syirik dan memberantas keragu-raguan dan waham, malah beliau dapat pula mengerahkan mereka menggulingkan singgasana Kisrah (raja Persia ) dan Kaisar (raja Romawi). Kalau ada suatu peristiwa besar yang terjadi di masa permulaan Islam, maka nama Abu Bakar selalu kelihatan dengan jelas di dalamnya. Semoga Allah yang Maha Kuasa melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada arwah beliau.Beliau telah mencerminkan seluruh nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang tinggi dan murni.

Sumber Rujukan:

Prof. Dr. A. Syalabi,”Sejarah Kebudayaab Islam”, hal. 195

Drs. Murodi, DKK,”Sejarah Kebudayaan Islam”, hal. 70

Joesef Sou’yb,”Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin”, hal: 128-129

Muhammad Husain Haekal, Ph.D,“Abu Bakar Ash-Sidiq“, hal 2-3

Muhammad Husain Haekal, Ph.D,“Abu Bakar Ash-Sidiq“, hal 5

Prof. Dr. A. Syalabi,”Sejarah Kebudayaab Islam”, hal 195-196

Drs. Taufiqurrahman M.Ag.”Sejarah Sosial Politik Islam”, hal 62

Drs. Murodi, DKK,”Sejarah Kebudayaan Islam”, hal. 71-75

Drs. H. Taufikurrahman.M.ag.“Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam“, hal 65

Muhammad Husain Haekal, Ph.D,“Abu Bakar Ash-Sidiq“, hal 6-7

Drs. Murodi, DKK,”Sejarah Kebudayaan Islam”, hal.76

DR. Ali Mufrodi,”Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”, hal 52

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

NABI PALSU



وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي .

“Sesungguhnya akan ada tiga puluh orang pendusta di tengah umatku. Mereka semua mengaku nabi. Padahal, aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.”



Takhrij

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud (3710), At-Tirmidzi (2145), Ibnu Majah (3942), Ahmad (21361), Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah (2901), Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ (249), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (8509), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (7361), dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin (2623); dari Tsauban bin Bujdud RA. At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak mengeluarkannya.” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Misykat Al-Mashabih (5406), Shahih Sunan Abi Dawud (4252), Shahih Sunan At-Tirmidzi (2219), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2654).

Dengan matan sedikit berbeda, hadits tentang akan munculnya nabi palsu juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3340), Muslim (7526), At-Tirmidzi (2144), Ahmad (6930), dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (199); dari Abu Hurairah RA.



Rahasia “Penutup Para Nabi”

Fakta akan munculnya nabi-nabi palsu, jauh-jauh hari sudah dikabarkan oleh Rasulullah SAW. Demikianlah yang tersirat dari sabda beliau, “Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.” Dan, demikian pula yang difirmankan Allah SWT, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)

Kata “penutup para nabi,” menyiratkan makna bahwa akan muncul nabi-nabi palsu, baik itu pada masa hidup Nabi Muhammad SAW maupun pasca beliau wafat. Fakta pun berbicara di kemudian hari, dimana sabda Nabi ini menemukan buktinya. Dan, kebenaran sabda ini tentu saja adalah sebagian dari mukjizat beliau.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Secara tekstual hadits ini menyebutkan bahwa tiga puluh orang tersebut semuanya mengaku nabi. Inilah dia rahasia sabda Nabi pada akhir hadits sebelumnya, ‘Dan sesungguhnya aku adalah penutup para nabi.’ Hal ini juga bisa berarti bahwa yang mengaku sebagai nabi di antara mereka hanya tiga puluh orang, sementara selebihnya adalah para pendusta saja namun mereka menyeru kepada kesesatan.”



Nabi Palsu Pada Masa Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin

Pada masa Nabi, muncul nabi palsu di Yaman bernama Abhalah bin Ka’ab bin Ghauts Al-Kadzdzab, atau yang lebih dikenal sebagai Al-Aswad Al-Ansi. Al-Aswad pernah mengirim surat kepada Rasulullah SAW, “Hai orang-orang yang membangkang kepada kami, kembalikanlah tanah kami yang telah kalian rampas. Berikan kepada kami apa yang telah kalian kumpulkan, karena kami lebih berhak memilikinya. Adapun kalian, cukuplah kalian dengan apa yang kalian miliki.”

Al-Aswad mati dibunuh oleh istrinya, Idzan, yang bekerja sama dengan pasukan kaum muslimin dalam strategi yang jitu. Berita matinya Al-Aswad sampai ke Madinah pada pagi hari wafatnya Rasulullah SAW. Namun, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa kabar tersebut sampai Madinah ketika Khalifah Abu Bakar baru saja selesai mempersiapkan pasukan Usamah.

Di Yamamah, juga muncul nabi palsu bernama Musailimah bin Tsumamah bin Habib Al-Kadzdzab. Musailimah (bukan Musailamah) pernah datang kepada Nabi bersama rombongannya dari Bani Hanifah. Dia berkata, “Jika Muhammad menyerahkan perkara ini kepadaku setelah dia meninggal, aku akan mengikutinya.”

Mendengar apa yang dikatakan Musailimah, Nabi bersabda, “(Jangankan kenabian), kamu minta tongkat ini dariku saja tidak akan aku berikan. Sungguh, jika kamu pergi, niscaya Allah akan menyembelihmu. Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku apa yang akan terjadi padamu.”

Nabi benar. Musailimah mati disembelih oleh Wahsyi bin Harb. Dia lempar Musailimah dengan tombak, lalu dia sembelih Musailimah layaknya seekor onta. Lalu, datanglah Abu Dujanah. Dia hantam bangkai kepala Musailimah, dan dibelahnya menjadi dua. Musailimah mati pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Masih pada masa Nabi, dari Bani Asad muncul nabi palsu bernama Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal. Pada tahun sembilan Hijrah, dia datang bersama kaumnya kepada Nabi dan menyatakan keislamannya. Ketika Nabi sakit keras, dia memproklamirkan dirinya sebagai nabi. Dia ingin menggantikan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau.

Thulaihah dan pasukannya pernah beberapa kali bertempur dengan kaum muslimin dan selalu kalah. Bersama istrinya, dia kabur ke Syam. Dia mendapatkan hidayah dan kembali ke pangkuan Islam. Thulaihah mati syahid dalam Perang Nahawand tahun 21 H.

Ada juga nabi palsu bergender perempuan. Sajah binti Al-Harits bin Suwaid namanya. Dia berasal dari Bani Tamim. Dia memproklamirkan kenabiannya setelah Nabi wafat dan ketika kaum muslimin sedang sibuk memerangi kaum murtaddin. Sajah tidak pernah terlibat peperangan langsung dengan kaum muslimin. Justru dia ‘bersaing’ dengan sesama nabi palsu, yakni Musailimah, yang sempat memperistrinya selama tiga hari. Dia tinggal di tengah-tengah kaumnya hingga masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan, sebelum akhirnya dia diusir oleh Muawiyah.



Nabi Palsu Pasca Khulafaur Rasyidin

Dalam ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Imam Abu Ath-Thayyib Abadi menyebutkan sebuah atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Abu Zumail; Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas RA, “Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya Al-Mukhtar bin Abi Ubaid mengaku bahwa tadi malam dia mendapatkan wahyu.” Ibnu Abbas berkata, “Dia benar.” Abu Zumail yang saat itu berada di dekat Ibnu Abbas langsung tersentak. Dia bangun dan berkata, “Ibnu Abbas mengatakan Al-Mukhtar benar telah mendapatkan wahyu?”

Kata Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu itu ada dua macam; wahyu dari Allah dan wahyu dari setan. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW. Sedangkan wahyu setan diturunkan kepada kawan-kawannya.” Lalu, Ibnu Abbas pun membaca ayat, “Sesungguhnya setan itu memberikan wahyu kepada kawan-kawannya untuk membantah kalian.” (QS. Al-An’am: 121)

Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi, juga ada nabi palsu bernama Al-Harits bin Said Al-Kadzdzab. Dulunya, ia adalah seorang zuhud yang ahli ibadah. Namun sayang, ia tergelincir dari jalan Allah dan mengikuti jalan setan. Ia didatangi iblis dan diberi ‘wahyu.’ Ia bisa membuat keajaiban2 laksana mukjizat seorang nabi. Saat musim panas, ia datangkan buah-buahan yang hanya ada pada musim dingin. Dan ketika musim dingin, ia datangkan buah-buahan musim panas. Sehingga, banyak orang yang terpesona dan mengikuti kesesatannya.

Al-Harits ditangkap oleh Khalifah Abdul Malik. Ia disuruh bertaubat dan diberi kesempatan untuk bertaubat. Sejumlah ulama didatangkan untuk menyadarkannya. Tapi ia enggan. Ia tetap dalam kesesatannya. Akhirnya, Abdul Malik pun menjatuhkan hukuman mati padanya. Al-Ala` bin Ziyad berkata, “Aku tidak iri sedikit pun pada kekuasaan Abdul Malik. Tapi aku iri dengan vonis matinya terhadap Al-Harits. Sebab, Rasulullah SAW bersabda, ‘Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum muncul tiga puluh orang dajjal pendusta yang semuanya mengaku nabi. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengaku nabi, maka bunuhlah ia. Dan barangsiapa yang membunuh salah seorang dari mereka, maka ia akan masuk surga’.” (HR. Ibnu Asakir)



Dua Sebab Munculnya Nabi Palsu

Setidaknya ada dua hal yang membuat seseorang mengaku nabi dan atau mendapatkan wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pertama, karena kebodohannya. Dan kedua, karena nafsu duniawi.

Dikarenakan kebodohan terhadap ajaran agama, seseorang yang lemah imannya sangat mudah digelincirkan setan. Dengan segala kelihaian dan kecerdikannya, setan bisa membuat seseorang merasa sangat yakin bahwa bisikan yang diterimanya adalah wahyu dari Allah melalui utusannya, Malaikat Jibril. Padahal, itu tak lain adalah bisikan setan

Dan, dikarenakan nafsu duniawi, baik itu motivasi materi ataupun kedudukan, seseorang bisa saja mengaku sebagai nabi dengan cara-cara yang dipoles sedemikian rupa. Anehnya, masih saja ada orang ‘Islam’ yang percaya kepada nabi palsu. Dan tak kalah aneh, ada pula yang menganggap nabi palsu sebagai seorang mujaddid! Wallahu a’lamu bish-shawab.

tugas masuk dari:
RANI ADIMANTO

YURISPRUDENSI DAN KHAZANAH KEAGAMAAN PADA MASA UMAR BIN KHATAB

Pendahuluan
Umar bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari suku Bani Ady. Suku Bani Ady terkenal sebagai suku yang terpandang dan mulia serta berkedudukan tinggi pada masa jahiliyah. Umar bekerja sebagai saudagar. Beliau juga sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu masalah antara kaumnya dengan suku Arab lain. Sebelum masuk Islam beliau adalah orang yang paling keras menentang Islam, tetapi setelah beliau masuk Islam, dia pulalah yang paling depan dalam membela Islam tanpa rasa takut dan gentar.

Biografi
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail dan Abdil Uzza dan Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quarisy yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi. Dia dilahirkan 14 tahun sesudah kelahiran Nabi, tapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan 4 tahun sebelum perang Pijar.
Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator ulung, pegulat tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu.
Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar ke dalam Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H (634 M) sampai tahun 23 H (644 M). Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahannya oleh Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.
Ia meninggal pada tahun 644 Masehi karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nhrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan Persia. Menurut Suaib, alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah(fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya.
Sebelum meninggal, Umar mengangkat Dewan Presidium untuk memilih khalifah pengganti dari salah satu anggotanya. Mereka adalah Utsman, Ali, Tholhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Auf. Sedangkan anaknya (Abdullah bin Umar) ikut dalam dewan tersebut, tapi tidak dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja. Akhirnya, Utsmanlah yang terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar anggotanya.

Ahlul Hall wal’Aqdi
Secara etimologi, ahlul hall wal ‘aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik pandai (cendikiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka.
Dinamakan ahlul hal wal ‘aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan dan membatalkan. Penjelasan tentangnya merupakan deskripsi umum saja, karena dalam pemerintahan Islam, badan ini belum dapat dilaksanakan.
Anggota dewan ini terpilih karena dua hal, yaitu: pertama, mereka yang telah mengabdi dalam dunia politik, militer, dan misi Islam selama 8 sampai 10 tahun. Kedua, orang-orang yang terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan tentang yurisprudensi dan Qur’an.
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal ‘aqdi, di antaranya adalah:
1. Majelis Syura (Dewan Penasihat), ada tiga bentuk:
a. Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal antara lain: Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah, dan Zubair.
b. Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
c. Dewan Antara Penasihat Tinggi dan Umum, beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
2. Al-Katib (sekretaris negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
3. Nidzamul Maly (departemen keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fa’i, dan lain-lain).
4. Nidzamul Idary (departemen administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
5. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
6. Departemen Pendidikan, dan lain-lain.
Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya.

Perluasan Wilayah
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas utamanya adalah menyukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada tahun 635 Masehi, Damaskus, ibukota Syuriah, telah ia tundukkan. Setahun kemudian, seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar telah mengirim pasukan besar di bawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke arah Syuriah. Ia bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu, wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khatab.
Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar, diberhentikan oleh Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud supaya tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah, dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan muslim selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukan dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup Agung Shoporonius, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan menghancurkan gereja-geraja.
Dari Syuriah, laskah kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh Raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front pertempuran. Akhirnya, permintaan itu dikabulkan juga oleh khalifah dengan mengirim 4.000 tentera ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun 18 H, pasukan muslim mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan Poelisium (al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan kaum muslim dan dapat ditakulkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota di Mesir ditaklukan oleh pasukan muslim. Kota Babylonia juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H, setelah tujuh bulan terkepung.
Iskandariah (ibukota Mesir) dikepung selama empat bulan sebeum ditaklukan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Ubaidah Ibn as-Samit yang dikirim oleh khalifah dari Madinah sebagai bantuan pasukan ‘Amr bin Ash yang sudah berada di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslim. Dengan jatuhnya Iskandariah ini, maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibukota negeri itu dipindahkan ke kota Fusthat yang dibangun oleh Amr bin Ash pada tahun 20 H. Dengan Syuriah sebagai basis gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia bagian utara, Georgia, dan Azerbaijan menjadi terbuka.
Demikian juga dengan serangan-serangan terhadap Asia Kecil yang dilakukan selama bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang menentukan nasib Syuriah, perang Qadisia pada tahun 637 M, menentukan masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqash untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di daerah itu membuka jalan bagi gerakan maju tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tigris. Setelah dikepung selama 2 bulan, Yazdagrid III, Raja Persia melarikan diri. Pada tahun itu pula, seluruh Persia sempurna berada dalam kekuasaan Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isfahan juga ditakulkan. Demikian juga dengan Jurjan (Georgia) dan Tabristan, Azerbaijan. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar daripada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1, menderita kerugian besar. Kaum muslim menyebut sukses ini dengan “kemenangan dari segala kemenangan” (fathul futuh).

Perkembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khatab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang profesional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri daulah Islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa khalifah sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan peruasan wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum muslim. Di situlah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar di samping tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).
Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khatab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Di antaranya adalah:
1. Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus.
2. Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz, dengan ibukota Mekkah.
3. Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Iran, dengan ibukota Basrah.
4. Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibukota Kufah.
5. Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibukota Fustat.
6. Alqamah bin Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibukota Jerusalem.
7. Umair bin Said, Gubernur Jazirah Mesopotamia, dengan ibukota Hims.
8. Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil.
9. Khalifah sebagai penguasa pusat di Madinah.
Tentang ghanimah, harta yang didapat dari hasil perang Islam setelah mendapat kemenangan, dibagi sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Setelah dipisahkan dari as-salb, ghanimah dimasukkan ke baitul maal. Bahkan ketika itu, peran diwanul jund sangat berarti dalam mengelola harta tersebut, tidak seperti zaman Nabi yang membagi menurut ijtihad beliau.
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan diubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslim diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).
Di samping itu, Umar juga mengadakan “dinas malam” yang nantinya mengilhami dibentuknya as-syurthah pada masa kekhalifahan Ali. Di samping itu Nidzamul Qadhi (departemen kehakiman) telah dibentuk, dengan hakim yang sangat terkenal yaitu Ali bin Abu Thalib. Dalam masyarakat, yang sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan kasta, setelah Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus sya’by). Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan. Istana dan makanan khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap golongan minoritas (Yahudi-Nasranai) diberikan kebebasan menjalankan perintah agamanya. Tidak ada perbedaan kaya-miskin. Hal ini menunjukkan realisasi ajaran Islam telah nampak pada masa Umar.
Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, penduduk Arab terutama Badui merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Di samping ilmu pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil (imarah madaniyah), bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan militer (imarah harbiyah) mengalami kemajuan yang cukup pesat pula.
Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah, Hijaz, Syam, dan Kuffah seakan menjadi idola ulama dalam menggali keberagaman dan kedalaman ilmu pengetahuan.
Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Al ulumul Islamiyah atau al adabul Islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadits, kebahasaan (lughat), fiqh, dan sejarah (tarikh).
2. Al adabul arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
3. Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, teknik, falak, dan filsafat.
Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:
1. Mereka mengalami kesulitan memahami Alqur’an.
2. Sering terjadi perkosaan terhadap hukum.
3. Dibutuhkan dalam istinbath (pengambilan) hukum.
4. Kesukaran dalam membaca Alqur’an.
Oleh karena itulah, banyak orang yang berasumsi bahwa kebangkitan Arab masa itu didorong oleh kebangkitan Islam dalam menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Apabila ada yang menyebut “ilmu pengetahuan Arab”, pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu pengetahuan Islam”.

Tugas Masuk dari:
Hilda Sadilah

ISLAM; WAHYU DAN TRADISI BUDAYA

I. Pendahuluan
Masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad telah mempercayai adanya Tuhan. Mereka sering mengadakan upacara penyembahan sebagai sarana berhubungan dengan Tuhan mereka, termasuk penyembahan terhadap berhala. Sejak masa Ibrahim, kepercayaan terhadap Tuhan telah menjadi kebutuhan setiap manusia, melalui penyembahan berhala. Hingga menjelang kelahiran Muhammad, Ka’bah dikelilingi oleh 360 berhala, seperti Hubal, Manath, Latta, Uzza, dsb. Berhala ada di mana-mana, di rumah maupun di perjalanan, bahkan sering terjadi makanan dibuat berhala untuk disembah sebelum akhirnya dimakan. Mereka juga percaya malaikat, sebagai puteri Tuhan, jin sebagai pemegang kekuasaan bersama Tuhan dan mengendalikan dunia. Berbagai upacara persembahan yang berupa pengorbanan juga tidak asing lagi bagi bangsa Arab sebagai jalan mengabdi pada Tuhan mereka.
Agama sebagai sistem sosialpun tidak asing lagi bagi bangsa Arab pra-Islam. Sebelum Islam, kota Mekkah telah menjadi pusat umat beragama saat itu yang melaksanakan ibadah haji, meski tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perdagangan. Keberadaan Kabah sejak masa Ibrahim telah menjadikan kota itu dianggap sebagai tempat suci yang sangat tepat bagi manusia untuk menghadapkan dirinya kepada Tuhan. Dengan kondisi seperti itu para pemimpin kota Mekkah-pun tidak dapat terlepas dari kepemimpinan dalam kegiatan keagamaan masyarakat saat itu. Para pendahulu yang menjadi nenek moyang Nabi Muhammad adalah para tokoh yang berperan dalam berbagai kegiatan di kota ini.

II. Wahyu
Pengertian Wahyu
Wahyu adalah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seorang nabi atau rasul dengan perantara malaikat ataupun tidak. Berdasarkan salah satu ayat dalam Al-Qur'an,


“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulayman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud” (QS. Al-Baqarah 4:163).

Prosesnya bisa melalui suara berupa firman atau melalui visi/mimpi. Etimologinya berasal dari kata kerja bahasa Arab وَحَى (waḥā) yang berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi.

Wahyu Sebagai Dasar Pandangan Hidup Islam
Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas. Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka.
Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan-Nya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistem makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.
Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya ke masyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview, dan oleh sebab itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebaai “quasi-scientific worldview”.

Wahyu Allah Pada Periode Makkah dan Madinah
Periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 114 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, din, ibadah, dan lain-lain. Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an diturunkan di sini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya. Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan.
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan.
Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.

III. Budaya
Pengertian Budaya
Menurut Koentjaningrat, yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Kebudayaan lahir sebagai hasil buah usaha budinya seseorang atau kelompok masyarakat. Kebudayaan adalah segala hasil karya dari proses cipta, rasa dan karsa manusia belaka, yang kemudian diwariskan secara turun temurun dan menjadi sebuah karya budaya yang melekat dalam masyarakat sekitar. Berdasarkan definisi ini kebudayaan dibedakan atas 3 bentuk budaya: (1) kebudayaan dalam bentuk ide, gagasan, dan konsep (ada yang menyebutnya sistem nilai); (2) kebudayaan yang berupa tingkah laku manusia; dan (3) kebudayaan yang berupa benda karya manusia. Ketiga bentuk kebudayaan itu berjalan saling bertautan. Ide manusia akan melahirkan pola tingkah laku, dan selanjutnya ide dan tingkah laku itu menghasilkan sesuatu karya dalam bentuk benda. Benda karya budaya itu akan berbalik mempengaruhi tingkah laku dan ide, dan dari rangsangan itu lahirlah ide baru. Dari ide baru akan lahir pola tingkah laku baru dan selanjutnya lahir benda baru. Demikian seterusnya saling bertautan dan saling merangsang tumbuhnya temuan-temuan baru itu berjalan terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dari ketiga bentuk kebudayaan itu sering dikelompokkan menjadi 2 sifat kebudayaan, yakni: (1) kebudayaan yang bersifat non-benda, tak-benda, tak teraba atau intangible culture aspect; dan (2) kebudayaan dalam bentuk benda atau tangible culture aspect. Bila dilihat dari dari sisi bentuk kebudayaan, maka agama berhubungungan erat dengan masalah ide, gagasan dan konsep, yang selanjutnya berhubungan pula dengan pola tingkah laku (non-benda) dan benda sebagai karya budaya keagamaan (benda).

Titik Temu dan Titik Pisah Agama dan Budaya
Ada dua pandangan tentang hubungan antara keduanya. Pandangan pertama menempatkan agama sebagai bagian dari kebudayaan, yang berarti antara keduanya pada hakikatnya ada kesamaan. Pandangan kedua menempatkan agama bukan bagian dari kebudayaan, dan dengan demikian agama berbeda dengan budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan tata pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Ajaran dan sistem yang mengatur tata keimanan itu hadir karena datangnya wahyu atau firman dari Tuhan Yang Maha Pencipta yang diturunkan melalui utusannya untuk disebarkan kepada masyarakat. Agama merupakan suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan yang menjadikan sumber ketenteraman dan semangat hidup serta kepada-Nya manusia akan kembali. Pemahaman tentang agama seperti ini menjadi dasar bagi pihak yang tidak setuju jika agama disebut merupakan bagian dari kebudayaan.
Untuk mencari titik temu antara agama dan budaya dapat pula dilihat dari sisi unsur yang terkandung dalam kebudayaan. Ernest Cassirer, membagi kebudayaan menjadi 5 unsur: (1) mitos dan religi; (2) bahasa; (3) kesenian; (4) sejarah; dan (5) ilmu pengetahuan. Sementara Koentjaraningrat membagi kebudayaan ke dalam 7 unsur, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian hidup; dan (7) sistem teknologi.
Bila antara arti agama dan budaya disandingkan, maka keduanya memiliki persamaan isi. Agama dan kebudayaan adalah sistem nilai dan simbol-simbol yang berisi kaidah, ajaran, aturan, meskipun sumbernya berbeda. Sistem nilai dan simbol-simbol yang lahir dari rahim kebudayaan dihasilkan oleh kemampuan manusia dalam menghadapi segala tantangan hidup di lingkungan hidupnya dengan cara belajar dan belajar. Sementara kaidah, ajaran, aturan dalam agama diyakini sebagai wahyu. atau firman yang datang dari Tuhan Yang Maha Pencipta yang diturunkan melalui utusannya.
Dengan pemahaman tentang isi agama di atas, maka agama dipandang sebagai dogma yang tidak akan pernah berubah dan tidak boleh berubah untuk menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan jaman. Sebagai dogma diyakini oleh para penganut agama bahwa agama diturunkan oleh Tuhan sudah disesuaikan dengan kondisi jaman hingga sampai pada akhir jaman. Sangat diyakini Tuhan tidak melakukan kesalahan dalam menurunkan tuntunan untuk umatnya sehingga dinilai tidak perlu untuk dilakukan perubahan.
Meskipun doktrin yang digunakan untuk bidang kebudayaan adalah melestarikan kebudayaan bangsa atau suku bangsa (yang berarti menjaga agar tidak berubah), namun dalam kenyataan kebudayaan mendapatkan peluang untuk berubah atau berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungannya. Tuntutan perubahan itu sulit dicegah, karena manusia yang dibekali kemampuan untuk mengembangkan ide, gagasan dan konsep dalam menghadapi tantangan lingkungannya. Kebudayaan selalu berkembang sejalan dengan tingkat kepekaan manusia dalam menanggapi perkembangan lingkungannya.
Meskipun bidang kebudayaan menerapkan konsep pelestarian kebudayaan, tetapi pelestarian di sini tidak diartikan sebagai konsep yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Sifat dinamis dari kebudayaan dimanifestasikan ke dalam 4 aktivitas kebudayaan, yakni pemilik kebudayaan melakukan upaya untuk melindungi, membina, mengembangkan dan memanfatakan untuk mempermudah kehidupannya.


Tugas Masuk dari Lia Yuliana
Mahasiswa PGMI Semester 1 kela A

PERADABAN ISLAM DAN REALITAS SITUASI EROPA

Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah
Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena
yang menonjol terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11september 2001.
Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Berbagai media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus- menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat
Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang lalu saja.
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar.
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa.
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru- baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa. Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad- abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang- benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di
bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" (QS. Ali'Imran, 3: 64)
Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:
"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang- orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa- masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang.
Keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Rasulullah SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan
menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia. Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
Kemudahan
Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.
Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.
Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.
Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.
Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.

Umat dan Negara-negara Kawasan Eropa: Sebuah Studi Komparasi
Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya, konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.
Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara absolut.
liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).
Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.

Tugas Masuk dari N. Cucu Anisa Rahayu
PGMI Semester 1 A 2009/2010
Dosen : Alimudin S.Pd.I

PENGERTIAN DAN FUNGSI SEJARAH

Ilmu Sejarah membagi sejarah ke dalam dua pengertian. Pertama, sejarah sebagai peristiwa, yaitu peristiwa di masa lampau yang menyangkut kehidupan manusia sebagaimana terjadinya (history as past actuality) atau histoire-realite). Kedua, sejarah sebagai kisah, yaitu peristiwa sejarah sebagaimana dikisahkan/ dituliskan (history as written atau histoire-recite).

Dengan kata lain, sejarah dalam pengertian kedua adalah ilmu yang mempelajari peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia di masa lampau seara selektif, yaitu peristiwa-peristiwa yang memiliki signifikansi (arti penting).

Di Indonesia ada persetujuan tidak tertulis antara sejarah dan arkeologi, yaitu sejarah meneliti peristiwa-peristiwa sesudah tahun 1500, sedangkan peristiwa-peristiwa sebelumnya menjadi garapan arkeologi. Disadari ataupun tidak, pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai masa lampau sesungguhnya memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi informasi, fungsi edukasi, fungsi filosofis, fungsi pragmatis, dan fungsi praktis. Sejalan dengan fungsi-fungsi tersebut, maka sejarah memiliki berbagai kegunaan, yaitu sebagai pelajaran, sumber inspirasi, dan sarana/media rekreatif. Bahwa sejarah memiliki kegunaan bagi kehidupan manusia, tercermin dari beberapa ungkapan yang menunjukkan makna sejarah, seperti “belajarlah dari sejarah”, “sejarah adalah guru yang paling baik dan abadi”, “sejarah adalah obor kebenaran”, dan sebagainya..

II. Signifikansi Sejarah Jawa Barat

Memiliki pengetahuan tentang peristiwa masa lampau (peristiwa sejarah) penting artinya bagi kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Peristiwa di masa lampau merupakan pelajaran berharga yang dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam menjalani kehidupan, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Hal ini disebabkan sejarah pada hakekatnya merupakan proses yang menakup tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa depan (past, present, and future).

Masa kini adalah kesinambungan dari masa lampau dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang. Sejarah sebagai sumber inspirasi dan sumber informasi yang terperaya sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri bangsa, untuk mampu merancang dan mempersiapkan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Inilah makna hakiki yang diajarkan oleh sejarah.

Arti penting hakekat tersebut ditunjang pula oleh sifat sejarah. Sejarah merupakan bidang pengetahuan yang sifatnya sangat terbuka dengan toleransi yang besar. Sejarah dapat diminati oleh siapa saja, bahkan sejarah dapat menjadi semacam falsafah hidup, sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup. Adanya sifat dan makna sejarah demikian itu dikarenakan sejarah berdasar kepada common sense (akal sehat), sehingga tiap orang dapat memandang makna sejarah menurut persepsi masing-masing.

Dengan demikian, sesungguhnya tiap orang adalah sejarawan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, suatu masyarakat atau bangsa hendaknya memiliki kesadaran dan apresiasi yang tinggi akan sejarahnya. Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda, seyogyanya memahami atau minimal mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah di Tatar Sunda, agar mereka lebih memahami akan jati dirinya. Hal itu penting karena daerah Jawa Barat sungguh kaya akan peristiwa sejarah dari masa ke masa, baik yang bersifat lokal maupun nasional, bahkan dalam masa tertentu di Jawa Barat terjadi peristiwa sejarah yang berskala internasional, misalnya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.

Sejak masa kerajaan hingga kini, di daerah Jawa Barat terjadi berbagai peristiwa sejarah penting yang mengandung berbagai makna pula, sesuai dengan gejolak jamannya. Peristiwa atau moment penting itu di antaranya adalah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 hingga abad ke-8), Kerajaan Sunda/Pajajaran (abad ke-8 hingga abad ke-16), Kerajaan Galuh (abad ke-8 hingga abad ke-15), dan Kerajaan Sumedang Larang (1580-1620).

Pada awal masa kerajaan, ke daerah Jawa Barat masuk pengaruh budaya Hindu-Budha. Sementara itu muncul Kesultanan Cirebon (1479-1809) dan Kesultanan Banten (1552-1832). Dengan berdirinya kedua kesultanan itu, Jawa Barat menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Pada abad ke-17, sebagian wilayah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram (1620-1677). Selanjutnya Jawa Barat semakin memiliki arti penting karena menjadi pusat kegiatan/kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara, yaitu pusat kegiatan Kompeni/VOC (abad ke-17 hingga akhir abad ke-18) dan pusat pemerintahan Hindia Belanda (awal abad ke-19 hingga Maret 1942) serta pusat pemerintahan Pendudukan Jepang di Jawa (awal Maret 1942 hingga pertengahan Agustus 1945).

Pada awal abad ke-20 hingga menjelang proklamasi kemerdekaan, Jawa Barat juga menjadi pusat kegiatan pergerakan nasional, sehingga bangsa Indonesia berhasil menetuskan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa yang disebut terakhir juga terjadi di daerah Jawa Barat. Dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan dan menegakkan ke- merdekaan, Jawa Barat menjadi pusat perjuangan, sekaligus sebagai pusat kegiatan Pemeerintah Republik Indonesia dalam rangka mengisi kemerdekaan dengan berbagai program pembangunan. Dalam setiap kurun waktu tersebut, banyak peristiwa sejarah yang memiliki arti penting, baik bagi masyarakat dan daerah Jawa Barat khususnya maupun bagi kepentinan nasional bangsa dan pemerintah Indonesia pada umumnya.

Berdasarkan ruang lingkup spasialnya, sejarah Jawa Barat termasuk kategori sejarah lokal. Namun demikian, studi sejarah lokal penting artinya bagi suatu bangsa seperti Indonesia yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan. Untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil jangan diabaikan, melainkan harus dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada/terjadi di tingkat nasional baru dapat dimengerti dengan lebih baik apabila perkembangan di tingkat lokal dipahami dengan baik pula. Hal-hal di tingkat yang lebih luas (nasional) biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah umum, sedangkan situasinya yang lebih konkret dan mendalam baru dapat diketahui melalui gambaran sejarah lokal. Dengan kata lain, studi sejarah Jawa Barat bukan hanya penting artinya bagi kelengkapan sejarah nasional, tetapi penting pula untuk memperdalam pengetahuan tentang dinamika sosiokultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam pada itu, selain peran keilmuannya, kajian sejarah lokal seperti sejarah Jawa Barat memiliki arti praktis bagi pembangunan, baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang budaya dalam arti luas. Untuk keperluan itu, pemahaman akan berbagai jenis sumber sejarah Jawa Barat dan sikap kritis terhadapnya, mutlak diperlukan.

III. Permasalahan dan Relevansinya dengan Pembangunan

Permasalahan yang dimaksud di sini adalah permasalahan dalam atau tentang sejarah Jawa Barat dan/atau yang berkaitan dengan sejarah Jawa Barat. Secara garis besar permasalahan itu mencakup penulisan dan pemahaman sejarah Jawa Barat. Bila dikaji secara seksama, kedua permasalahan itu ada relevansinya dengan pembangunan dalam arti luas, baik pembangunan mental-spriritual, pembangunan fisik daerah, maupun pembangunan sosial budaya. Hingga kini sejarah Jawa Barat sudah cukup banyak ditulis, baik oleh sejarawan profesional maupun sejarawan amatir.

Pada umumnya tulisan-tulisan itu sudah mencakup garis besar periodisasi sejarah Jawa Barat, yaitu masa kerajaan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan, bahkan sudah ada tulisan mengenai Jawa Barat masa prasejarah. Oleh karena sejarah Jawa Barat mencakup kurun waktu sangat panjang dan mengandung permasalahan luas dan kompleks, maka setiap tulisan umumnya hanya menguraikan aspek-aspek tertentu (tematis) dalam kurun waktu tertentu pula. Misalnya, masa kerajaan dengan penekanan pasa aspek pemerintahan, penyebaran agama Islam, penjajahan kolonial dan pendudukan Jepang (aspek politik dan militer), pergerakan nasional (aspek politik), tentang revolusi kemerdekaan dengan beberapa permasalahannya (aspek politik dan militer), tentang pendidikan (hingga tahun 1950-an), tentang pemerintahan (hingga tahun 1990-an), sejarah kota, sejarah kabupaten, dan lain-lain, secara garis besar. Tulisan-tulisan tersebut umumnya belum banyak mengungkap aspek-aspek sosial budaya secara eksplisit. Uraian pada tulisan-tulisan itu umumnya masih bersifat deskriptif-naratif. Kalaupun ada yang bersifat deskriptif-analisis, sifat analisisnya masih dangkal. Tulisan tentang aspek-aspek sejarah Jawa Barat yang bersifat analisis umumnya berupa makalah, skripsi, tesis, dan disertasi yang notabene belum dikomsumsi oleh masyarakat luas.

Tulisan-tulisan tersebut baru sebagian kecil yang diterbitkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Namun pengkonsumsiannya masih terbatas pada kalangan masyarakat tertentu. Hal ini dikarenakan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia umumnya, termasuk masyarakat Sunda, masih lemah. Sementara itu, dalam sejarah Jawa Barat masih banyak aspek-aspek sosial budaya masyarakat yang belum terungkap secara jelas, seperti tentang pertanian, perekonomian, perdagangan, kesenian, transportasi dan komunikasi, institusi masyarakat atau organisasi sosial, sejarah pedesaan, keterlibatan dan peranan rakyat dalam setiap peristiwa sejarah, dan sebagainya.

Permasalahan tersebut erat kaitannya dengan kendala dalam menulis sejarah, antara lain sedikit/terbatasnya sumber sejarah yang diperoleh dan sulitnya menemukan sumber yang akurat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam proses penulisan sejarah, seperti kesalahan pemilihan topik, kesalahan pengumpulan sumber, kesalahan verifikasi, kesalahan interpretasi, dan kesalahan penulisan. Kesalahan-kesalahan itu satu sama lain berhubungan secara kausalitas yang pada dasarnya bermuara pada kesalahan pengumpulan sumber dan kesalahan interpretasi. Kelemahan dan kesalahan itu terdapat pula dalam beberapa tulisan tentang sejarah Jawa Barat. Kelemahan umum terjadi pada sifat uraian yang kurang memberikan eksplanasi tentang makna peristiwa. Salah satu contoh kesalahan pemilihan topik adalah tulisan berjudul Prabu Siliwangi. Topik itu dikatakan salah, karena Prabu Siliwangi bukan tokoh sejarah melainkan tokoh mitos (tokoh sastra). Kasus ini juga menunjukkan kesalahan interpretasi, verifikasi, dan penulisan. Campuraduknya antara sejarah dengan mitos memang merupakan gejala umum di kalangan masyarakat. Mungkin hal itu terjadi karena mereka (rakyat) banyak mengetahui cerita yang mirip sejarah dari sumber berupa babad atau wawacan. Hal ini menunjukkan lemahnya pemahaman akan pengertian sejarah.

Contoh lain dari kelemahan pengumpulan sumber dan kesalahan interpretasi serta lemahnya kesadaran sejarah, terjadi dalam sejarah kabupaten yang menari hari jadi kabupaten yang bersangkutan, misalnya Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung. Kabupaten Sumedang memilih hari jadinya tanggal 22 April 1578. Hal ini berarti kabupaten itu berdiri pada akhir masa Kerajaan Sunda/Pajajaran, padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang berdiri jauh setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh (1580). Berdasarkan pengertian kabupaten atau secara administratif, Kabupaten Sumedang berdiri kira-kira tahun 1620, dibentuk oleh Sultan Agung, penguasa Mataram (1613-1645) dalam usahanya menguasai daerah Priangan. Kabupaten Bandung pun dibentuk oleh Sultan Agung berdasarkan piagam bertanggal 9 Muharam Tahun Alip. F. de Haan dalam bukunya berjudul Priangan; De Preanger Regentshappen Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811, jilid III (1912) menafsirkan tanggal piagam itu bertepatan dengan tanggal 20 April 1641. Tanggal inilah yang dipilih sebagai hari jadi Kabupaten Bandung. Kasus ini merupakan kelemahan dalam pengumpulan dan penggunaan sumber, karena ternyata ada sumber lain yang memuat tafsiran lain terhadap tanggal piagam tersebut, yaitu tanggal 16 Juli 1633.

Berdasarkan buku Perbandingan Tarich dan kajian terhadap peristiwa yang berhubungan secara kausalitas dengan pembentukan Kabupaten Bandung, saya cenderung pada tanggal 16 Juli 1633 sebagi hari jadi Kabupaten Bandung.

Kelemahan dan kesalahan dalam penulisan sejarah itu, selain akibat kelemahan dalam penelitian sumber dan kelemahan dalam penguasaan metode sejarah serta aplikasinya, mungkin pula disebabkan oleh kuatnya perasaan emosional dan unsur subyektivitas dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan adanya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dalam penulisan sejarah, termasuk dalam sejarah Jawa Barat, maka tulisan sejarah Jawa Barat mengenai aspek-aspek tertentu perlu dikaji ulang dan direvisi. Demikian pula aspek-aspek atau peristiwa yang belum terungkap perlu diteliti, dikaji, dan ditulis dengan memperhatikan syarat-syarat dan ciri-ciri karya sejarah serta berdasarkan metode sejarah.

Dengan demikian, sejarah Jawa Barat sebagai sejarah lokal akan memiliki fungsi, kegunaan, dan signifikansi seperti yang telah dikemukakan. Dalam hal ini, sejarah kebudayaan Sunda patut mendapat perhatian, dikaji dan ditulis, serta hasilnya dikonsumsikan kepada masyarakat. Melalui tulisan ini, diharapkan masyarakat Sunda semakin memahami akan jati diri dan potensinya, sehinga menumbuh kembangkan sikap mental-spiritual yang positif. Dengan memahami sejarahnya, para pendukung kebudayaan Sunda diharapkan akan mampu membuat strategi untuk memelihara dan mengembangkan budaya Sunda, sehingga budaya Sunda bukan hanya milik dan dicintai oleh orang Sunda, tetapi juga menjadi aset nasional, baik dalam mengisi abad ke-21 maupun abad-abad selanjutnya.

IV. Kesimpulan

Sejarah Jawa Barat dari masa ke masa mengandung banyak permasalahan yang cukup menarik untuk dikaji secara seksama, karena sejarah Jawa Barat selain memiliki fungsi dan kegunaan seperti sejarah pada umumnya, juga memiliki sifnifikasi tersendiri (istimewa), baik bagi pembangunan masyarakat dan daerah Jawa Barat pada khususnya maupun bagi kepentingan pembangunan nasional pada umumnya. Hal ini disebabkan daerah Jawa Barat dari masa ke masa memiliki kedudukan yang strategis di wilayah Nusantara, dan memiliki potensi serta peranan penting dalam berbagai kegiatan. Oleh karena itu, kesadaran akan sejarah perlu dimiliki. Pemahaman sejarah dapat menunjang pembinaan dan pengembanga budaya. Kesadaran atau

Pemahaman sejarah adalah budaya. Sejarah dan budaya dalam satu segi memiliki fungsi/kegunaan yang sama, yaitu sama-sama menunjukkan abad ke-21 dan abad-abad selanjutnya.identitas masyarakat pemiliknya

IDENTITAS DAN RINGKUP PERADABAN ISLAM

Sekarang ini, banyak umat Islam yang tidak mengenali lagi peradabannya sendiri. Bahkan, sebagian pemikir dan intelektual Muslim bangga dengan peradaban dan pemikiran yang didapatkan dari Barat. Fenomena untuk menerapkan cara berpikir posmodernisme yang mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya telah banyak diagung-agungkan. Padahal, peradaban Barat itu tidak jelas asal usulnya.

Urgensi identitas peradaban

Kita tidak hanya mengesampingkan identitas peradaban yang kita miliki, lebih dari itu kita berupaya untuk menghapuskan sumber peradaban itu sendiri. Jika kemajuan peradaban dimulai dari pemikiran, maka solusi peradaban juga dimulai dari pemikiran pula. Menurut Malik bin Nabi, kemunduran dunia Islam bukan karena dunia Islam miskin, namun karena sikap subordinat atas peradaban asing dan kurang memperhatikan hal positif yang terdapat pada peradabannya sendiri. Hal itu dilakukan dengan upaya meghapus karakteristik identitas peradaban Islam serta merekonstruksi kembali dengan model peradaban Barat. Peradaban merupakan produk pemikiran pada suatu masa. Ia adalah sumber motivasi masyarakat untuk memasuki sejarah. Masyarakat ini akan membangun sistem pemikirannya sesuai dengan pilihannya. Langkah seperti inilah yang kita kehendaki karena lebih sesuai dengan akar peradaban dan karakteristik budaya kita yang jelas banyak memiliki perbedaan dengan budaya asing.

Pemahaman umat pada identitas peradabannya sendiri merupakan landasan dasar untuk membentuk struktur budaya. Hal ini sangat penting terutama dalam peralihan peradaban yang selalu dibarengi dengan sistem pemikiran, normatis, dan metodologi analisa. Pemahaman identitas peradaban diperoleh melalui sejarah, bukti-bukti sejarah, segala sesuatu yang mejadi faktor terbentuknya setiap kejadian dan kesadaran atas peninggalan sejarah. Karena sesungguhnya kebangkitan dan perkembangan budaya suatu bangsa banyak bergantung pada sikapnya terhadap sejarah, kesadaran atas warisan peradaban nenek moyang serta kepercayaan terhadab identitas dan arti keberadaan dirinya.

Pembaruan Islam dan pembangunan identitas peradaban tidak mungkin terwujud selama kita masih kehilangan pemahaman terhadap identitas dan akar ideologi yang membuat serta memberikan andil dalam pembentukan suatu bangsa. Karena dengan hal ini suatu masyarakat mempu merealisasikan norama susila yang dapat mengimbangi benturan dengan peradaban lain serta dapat bangkit menuju masa depan sesuai dengan harapan.

Dengan hilangnya identitas peradaban muslim -karena kita sebagai bangsa muslim yang pernah berada dibawah imperalisme serta bergesekkan secara langsung dengan budaya dan peradaban Barat, sebagaimana juga pernah dialami oleh bangsa bangsa Asia-Afrika, dan juga telah menjadi hukum alam bahwa negara yang kuat akan memaksakan adat istiadat dan tradisi negerinya ke negara yang kalah- kita masih mewarisi nila-nilai dan pengalaman sejarah dunia Barat. Bahkan sebagian nilai dan norma Baratpun kita jadikan tolak ukur dalam realitas kehidupan sosial. Demikianlah, kita lihat semua ini dijadikan sebagai sesuatu yang layak dijadikan barang percontohan untuk menuntun arah pemikiran kita, kita jadikan petunjuk dalam berijtihad tanpa memfilter terlebih dahulu apakah ia sesuai dengan identitas dan filsafat kita atau tidak. Apa saja yang kita yakini memiliki nilai peradaban, kita campur adukkan dengan Islam tanpa menganalisa terlebih dahulu apakah ia sesuai dengan Islam atau tidak.

Ini bearti problematika politik dan sosial -lepas dari problematika ilmiyah- relatif, karena sesuatu yang sesuai dengan masyarakat dimasa tertentu dan menjadi faktor utama kemajuan peradaban, di masyarakat lain belum tentu bermanfaat, bahkan mungkin dapat menimbulkan kehancuran dan keterbelakangan. Ilmu pengetahuan yang diadopsi dari bangsa lain kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam yang berlandaskan tauhid, lalu direkonstruksi ulang sehingga sesuai dengan tujuan dasar Islam, akan membentuk ilmu baru yang sesuai dengan wacana budaya Islam. Ia akan tampil beda dengan bentuk ketika masih berada pada budaya aslinya. Ia telah terbentuk sesuai dengan satu metodologi yang diatur oleh Islam, yang dijadikan alat untuk menegakkan agama dan kelangsungan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sesungguhnya budaya, pemikiran filsafat, sosiologi dan politik yang tumbuh di negara-negara Eropa merupakan hasil natural yang logis atas perjalanan peradaban Barat. Namun perpindahan pemikiran Barat ke suatu masyarakat yang mempunyai budaya, sosiokultur dan ideologi yang berbeda, harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang timbul dari idealis dan identitas umat sehingga ia dapat berperan dalam interaksi dengan peradaban lain.

Bagaimana sikap anda terhadap orang yang datang dan ingin menjual peradabannya kepada anda? Tidak semua idealis dijual-belikan seperti halnya peradaban. Kita tidak bisa menerima orang yang berupaya menjual kototan peradabannya kepada kita. Peradaban adalah hasil kerja keras suatu bangsa yang menginginkan kemajuan. Potensi manusia inilah yang akan membentuk satu ketentuan analisa dan realitas yang diambil dari sejarah. Hal ini akan menjadi ketentuan baku yang tidak mudah dirubah oleh waktu. Hanya masyarakatlah yang mungkin merubahnya. Suatu masyarakat yang baru lahir tidak mungkin langsung dapat bangkit berdiri, ia akan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.



Dunia intelaktual sebagai deskripsi dari identias peradaban.



Pemikiran dalam arti luas adalah sebuah peraturan yang digunakan untuk mengetahui masyarakat yang memiliki unsur-unsur normatis tertentu di dunia kebudayaan yang orisinil. Artinya bahwa aktifitas pemikiran harus mendiskripsikan loyalitas kepada identitas tertentu yang memiliki landasan dasar dan faktor pendukung tertentu pula. Semakin dekat seseorang dengan model yang ditentukan oleh identitas budaya dan loyalitas peradabannya sendiri, ia semakin mampu berinteraksi dengan aktifitas pemikiran dalam manyarakat dan bangsanya.

Karena tiap sejarah memiliki budaya tersendiri, dan tidak mungkin mendiskripsikan sejarah tanpa budaya, maka masyarakat yang kehilangan budayanya sudah pasti akan kehilangan sejarahnya. Budaya, termasuk juga pemikiran keberagamaan yang menyatu dengan manusia sepanjang sejarah dari zaman Adam AS, bukan untuk mendiskripsikan ilmu yang dipelajari manusia, karena sesungguhnya ia adalah inti dari peradaban. Ialah yang memberi makan janin peradaban dimasa perkembangannya. Ia adalah perantara yang membantu dalam pembentukan karakteristik masyarakat yang berperadaban. Ia adalah perantara yang membentuk bagian-bagian peradaban sesuai dengan tujuan mulia yang digariskan masyarakat untuk dirinya. Dan demikianlah tersusun sejarah.

Dengan demikian suatu budaya merupakan deskripsi yang hidup pada suatu bangsa. Ialah yang menentukan anatomi identitas dirinya dan keberadaannya. Ia pula yang menentukan jalan kehidupannya. Ia adalah ideologi dan prinsip yang diyakininya. Ia adalah peninggalan masa lalu yang dikhawatirkan akan hilang. Ia adalah hasil pemikiran yang ditakutkan akan terkikis. Pemahaman terhadap fungsi kebudayaan ini akan berimplikasi pada keyakinannya bahwa kebudayaanlah yang menjadi pembentuk utama identitas peradaban Islam.

Dalam merealisasikan pemikiran kontemporer selayaknya kita menyadari bahwa fungsi peradaban akan lebih aktif dari pada hanya sekedar menjadi paham pemikiran dan kebudayaan. Maksudnya bukan hanya sekedar menyatukan kesadaran individu terhadap landasan dasar Islam, namun yang selayaknya kita lakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa fungsi budaya yang memiliki korelasi dengan peradaban dapat menjadi pengikat antar golongan, generasi dan perbedaan status sosial. Fungis peradaban ini secara otomatis akan menggiring kita pada satu aktifitas lintas masa sehingga mampu menghapuskan batas-batas antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian fungsi kebudayaan peradaban bagi identitas seorang muslim akan menjadi kenyataan dalam rangka berdialog dengan budaya lain, sehingga dakwah Islam dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Fungsi budaya adalah memberikan bekal dengan suatu idealisme yang dapat menguatkan pondasi banguan peradaban sehingga dapat berinteraksi dengan peradaban yang berbeda. "Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk yang benar dan agama Islam agar dimenangkan-Nya atas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksinya." (Q.S Al-Fath:28).. Dari sini budaya akan menjadi sebuah kumpulan dari perasaan yang saling mengikat yang memungkinkan aktifitas peran budaya agar sesuai dengan pemahaman Islam mengenai perdadaban. Dengan demikian, peradaban akan berinteraksi dengan situasi yang dalam satu waktu dapat menjadi alat sekaligus praktek, karena sesungguhnya budaya adalah identitas dari suatu peradaban. Dengan demikian budaya menjadi perantara yang dapat mengikat idealisme dan paham Islam terhadap struktur dan perjalanan peradaban sepanjang sejarah.

Dunia intelektual dan dunia kebudayaan semakin nampak urgen -sebagai deskripsi mengenai identitas peradaban- dalam dua bentuk; bisa jadi ia dapat menjadi faktor pembangkit peradaban dan juga dapat memberikan implikasi pada kebangkitan peradaban, atau sebaliknya, ia dapat menjadi faktor penghalang perjalanan aktifitas peradaban. Dalam struktur peradaban, hal terpenting tidak terletak pada akal pemikiran, namun bagaimana kita mampu mengarahkan akal pemikiran agar semaksimal mungkin dapat aktif, dimana Ia tetap memiliki karakteristik ideologi dan pemikirannya. Dakwah Islam yang berperadaban dapat melepaskan manusia dari sikap lemah serta memberikan dorongan semaksimal mungkin agar dapat aktif sesuai dengan aqidah Islam.

Pasang surut aktifitas suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh pasang surutnya pengaruh prinsip yang merupakan syarat mendasar atas aktifitas peradaban, karena sesungguhnya ia dapat mengatur interaksi antar individu agar sesuai dengan kebutuhannya. Seorang intelektual yang mempunyai prinsip normatis selalu terdorong untuk menjalankan dua perbuatan; pertama adalah ilmu dan kedua mengamalkan ilmu.

Dengan demikian, seorang muslim kontemporer dalam berdialog dengan Barat akan berpijak diatas metodologi yang diambil dari pengalaman sejarahnya sehingga dapat menentukan beberapa hal penting, diantaranya adalah diperlukannya kejelasan atas karakteristik identitas peradabannya dalam berdialog dengan peradaban lain.









Westernisasi dan hilangnya kesadaran identitas peradaban.



Diatara fenomena krisis peradaban dan pemikiran yang sedang dialami dunia Islam adalah terperangkapnya intelektual Arab kedalam sikap subordinat terhadap budaya dan pemikiran Barat. Hal ini karena kekalahan peradaban sehingga setelah melalui gesekan peradaban yang tidak dapat dihindari antara tokoh intelektual muslim kontemporer dengan idealis dan paham pemikran Barat, para intelektual Arab menempatkan diri untuk menghadapi paham dan filsafat Barat. Sebenarnya sentral krisis yang sedang dihadapi intelektual Arab adalah karena mereka kehilangan identitas budaya dan warisan pemikiran. Padahal ia lah yang menentukan identitas ideologi dan idealis yang membentuk landasan dasar Islam. Sebearnya metodologi yang digunakan oleh tokoh intelektual Arab yang sudah terbaratkan dengan mengesampingkan tipe orisinalitas Islam -satu tipe peradaban yang telah terbukti dapat aktif serta menjadi percontohan peradaban pada waktu itu- sikap negatif terhadap identitas peradaban seperti inilah yang menjadi gambaran krisis pemikiran kita ketika berdialog dengan Barat. Mereka menguasai kita sementara kita sendiri kurang menghormati terhadap identitas Arab Islam.

Dalam menghadapi paham Barat, para tokoh intelektual Arab yang terbaratkan masih merasa bimbang, sementara sikap untuk melawan hegemoni Barat dalam bentuk peradaban modern ini juga semakin melemah. Imperalisme Barat telah meninggalkan pengaruh pada budaya Arab sehingga mereka berupaya membangun peradaban dengan tipe Barat dengan cara menghilangkan idealis umat dan identitas Islam. Dunia Islam sedang menghadapi trauma sebagaimana pernah dialami budaya Barat, yang secara khusus brimplikasi pada dua hal; pertama upaya menghadapi mereka semaksimal mungkin dan kedua upaya untuk mengalahkan mereka meskipun dengan cara kotor. Trauma ini menyebabkan sebagian tokoh intelaktual Islam hapir-hampir saja lumpuh dibenteng pertahanan kebudayaan sehingga mereka mencoba melarikan diri dari serangan budaya Barat. Mereka melemparkan senjata di medan perang karena merasa sudah kalah dalam pergulatan pemikiran antara masyarakat Islam dengan Barat, sehingga mereka menerima setiap nilai dan norma yang berasal dari budaya Barat. Hubungan yang sangat kacau antara sektor ekonomi, budaya dan politik pada masa ini menjadikan dunia Islam sebagai pintu Barat untuk menguasai dunia internasional. Mereka mengorientasikan pada penghancuran budaya Islam agar insan muslim mengikuti arah pemikiran Barat mereka.

Meskipun demikian -sebagaimana yang dikatakan Malik bin Nabi- dunia Islam tidak mungkin hidup mengisolasi dari dunia internasional. Dalam artian kita tidak akan memutus hubungan dengan peradaban Barat, namun bagaimana supaya interaksi dengan Barat dapat diatur sedemikian rupa? Kita tidak menolak dialog peradaban dengan Barat, lagipula keberadaan dan sumbangan peradaban Barat di dunia modern ini tidak dapat dipungkiri lagi. Dan hal ini menjadi bagian tak terpisahkan bagi umat manusia, sebagaimana halnya dengan sumbangan peradaban Islam ketika masih berkembang dan berpengaruh di dunia internasional kususnya kedunia Barat, baik secara pemikiran atau ilmu pegetahuan telah menjadi milik Barat. Meskipun demikian kita tetap menolak budaya Barat untuk dijadikan sebagai ganti budaya Islam. Pada dasarnya Barat belum menyingkirkan budaya, pemikiran dan ideologinya ketika ia mengambil peradaban Islam. Ditambah lagi saat ini peradaban Barat dijadikan alat untuk menggoncang budaya lain dengan jargon globalisasi yang merupakan bentuk lain dari imperalisme kontemporer.

Yang diinginkan oleh para intelektual yang telah terbaratkan adalah menggabungkan budaya Islam dengan Barat sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi Islam awal. Mereka tidak tahu kalau ketika Islam mengadopsi budaya lain, posisi peradaban Islam lebih kuat karena memang peradaban Islam sedang berada dipuncak kejayaannya. Lebih dari itu, peradaban Islam tidak mengadopsi peradaban lain hanya sekedar untuk meniru, namun untuk menyebarkan aqidah dan dakwah Islam. Menurut Insan muslim -dengan tetap berpegang pada alquran- tidak menjadi persoalan mengetahui budaya lain selama tetap berpegang teguh pada identitas ideologi umat dan struktur budayanya. Maka dari itu nasionalis Islam mampu mengembangkan sebuah peradaban luar biasa diseluruh segmen kehidupan yang diakui oleh para tokoh intelektual Barat sendiri.

Namun sekarang kejadiannya lain, yang kami maksudkan dengan interaksi dengan Barat bukan bearti menolak peradaban Barat, namun interaksi dengan menggunakan syarat tematis demi kemurnian peradaban Islam. Sikap prefentif kita bukan bearti sikap negatif yang melarang dan menolak interaksi denga peradaban Barat, namun yang diharapkan adalah sikap aktif yang tetap berpegang pada identitas peradaban. Dengan demikian kebangkitan kita di zaman modern ini bersumber dari identitas Islam, bukan dari bangsa lain. Sehingga kemajuan yang dicapai adalah deskripsi dari identitas umat Islam, dengan aqidah dan norma Islam. Perkembangan seperti ini yang akan menghasilkan metodologi kemanusiaan yang mempunyai banyak kelebihan dalam menuangkan peradaban Islam.

Arah pembentukan peradaban yang kebarat-baratan hanya akan menimbulkan pertentangan antara Eropa dan dunia Islam dengan tolak ukur kuat dan lemahnya suatu peradaban. Artinya pemikiran Arab akan datang dengan model yang dibuat Barat (kekalahan dunia Islam dan kemenangan Eropa modern). Dan hal ini akan berimplikasi pada pembentukan sejarah kita oleh Barat. Karena sebagai negara yang menang Barat merasa berhak memberikan atribut apa saja kepada negara yang kalah.

Para jurkam pembaratan menginginkan pengorbanan orisinalitas, warisan nenek moyang dan identitas kita demi keuntungan yang belum jelas. Sebenarnya berapa besarkah keuntungan yang akan kita dapat dari barter peradaban ini?

Kita -sebagaimana dikatakan oleh para intelektual Arab yang terbaratkan- akan mendapatkan kemodernan, padahal realitasnya lebih menguntungkan posisi Barat. Sebagai orang Arab, dengan memisahkan identitas Arab akan semakin mudah dibentuk sesuai dengan keinginan Barat, baik kita sadari atau tidak. Selama identitas kita sudah hilang, mereka akan membentuk kita agar sesuai dengan kondisi kehidupan mereka yang berbeda dengan realitas kehidupan kita.

Namun bagaimana mungkin para intelektual yang terbaratkan bisa kalah padahal mereka berupaya membangun peradaban Islam dengan peradaban Barat? Kekalahan mereka karena mereka menghina terhadap sejarah, budaya dan peradabannya sendiri. Mereka lebih mendahulukan membuang identitas Islam untuk kemudian bersikap subordinat dengan peradaban lain. Meskipun hal ini dibayar dengan harga mahal oleh masyarakat Arab dan dunia Islam. Meskipun demikian, para tokoh intelektual yang terbaratkan tidak dapat menandingi Barat, padahal mereka sudah kehilangan identitas dirinya.

Pada masa imperalisme, westernisasi adalah tujuan utama dunia Barat, karena dengan demikian Barat dapat memaksakan berbagai norma peradabannya, baik dari jalan pemikiran, ekonomi, politik dan lain-lain kepada para intelaktual muslim. Bahkan setelah mereka enyah dari dunia Arab-Islam pun sistem westernisasi terus berjalan. Hal ini dilaksanakan demi mewujudkan hegemoni Barat diberbagai bidang.

Bagaimana mungkin kita dapat melakukan dialog peradaban sementara diantara kita terdapat orang yang silau dengan budaya lain, bahkan mereka menghina budaya dan karakteristik peradabannya sendiri yang merupakan deskripsi orisinil identitas umat?



Dinamika peradaban menuntut dialog dengan peradaban lain



Diantara karakteristik pergerakan peradaban adalah bahwa peradaban tidak hanya terbatas pada studi geografis dan sosiologis, lebih dari itu, ia mengkaji suatu peradaban serta implikasinya terhadap budaya lain. Besar kecilnya sirkulasi dan pengaruh suatu peradaban bergantung pada landasan motivasi peradaban yang dapat mengimbangi antara tiap unsur yang mampu memberi andil dalam pembentukan struktur suatu bangsa serta proteksinya terhadap identitas peradabannya sendiri. Ditambah lagi dengan sifat memberi atau menerima baik positif atau negatif dari peradaban lain.

Para filosof dan intelektual peradaban mengatakan bahwa sirkulasi peradaban merupakan karakteristik terpenting dari unsur peradaban, dimana para sarjana sosiologi, peradaban dan sejarah memberikan prioritas dan perahtian khusus. Dari sana mereka menemukan jawaban atas perubahan peradaban sepanjang sejarah umat manusia, bahkan sebagian mereka memberikan nilai lebih terhadap aliran sirkulasi ini. Bagaimanapun juga, sirkulasi peradaban terkadang menimbulkan sifat saling memberi, mempengaruhi, dan reaksi, bahkan terkadang dapat menimbulkan sifat subordinat, dan terkikisnya identitas peradaban.

Saya tekankan lagi bahwa sebagian dari hasil peradaban Barat layak kita terima, bukan untuk mengambil basic ideologi Barat -karena kita juga memiliki identititas peradaban- namun melalui alat yang digunakan Barat dalam menggapai kemajuan teknologi baik dibidang teknik, revolusi informasi dan dunia elektronik dimana hal ini dapat dijadikan sebagai langkah awal menuju ketergantungan pada identitas peradaban kita sendiri dalam menumbuhkan teknik dan perkembaangan ilmu pengetahuan. Adapun idealisme, normatis dan pemikiran peradaban Barat, sangat bertentangan dengan karakteristik identitas bangsa kita. Karena rujukan ideologi Barat yang amat menentukan pergerakan, perjalanan dan tujuan idealismenya mengarah pada ideologi atheis (sekuler).

Dengan kita menyandarkan dialog peradaban pada idealisme dan pemikiran kita sendiri dan dengan menguatkan pondasi ideologi kita yang bertendensi kemanusiaan, semakin bertambah kesempatan budaya kita untuk menandingi arus peradaban dunia sehingga peradaban kita tidak terkikis dengan peradaban Barat yang punya obsesi untuk mengganti semua budaya untuk dikombinasikan dalam satu budaya dunia yang berarti menghapus kesempatan untuk mengembangkan peradaban dimasa mendatang.

Sesungguhnya mempertahankan budaya kita yang mulai terkikis dengan budaya lain -dan upaya untuk membangkitkan kreatifitas peradaban dengan melepaskan ideologi yang hanya sekedar sebagai lambang saja- dapat membantu peradaban kita agar tetap eksis serta memberikan kesempatan agar suatu peradaban selalu mengalami modernisasi dan kontinuisasi.

Artinya, sentral dialog dengan Barat harus direalisasikan sesuai dengan karakteristik peradaban bukan dengan mengikis identitas peradaban kita karena tertarik dengan slogan palsu yang sering dikumandangkan oleh para jurkam globalisasi mengenai satu peradaban, dan bahwa dunia adalah satu desa besar. Seorang muslim pantang mengadakan dialog peradaban, kecuali ia tetap konsiten terhadap identitas peradabannya sendiri. Hal ini tidak mungkin terwujud selama dalam realitas kita masih bersifat subordinat, baik secara politik, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dialog dengan peradaban lain adalah tugas berat karena hal ini menuntut solidaritas keinginan bersama, peradaban dan pendidikan identitas dalam ruang lingkup basic dan perinsip sehingga dapat membedakan antara peradaban Islam di tengah struktur berbagai peradaban kontmporer.

Tiap peradaban mengandung berbagai unsur sejarah, ideologi dan sosial yang menuntut -dari segi metodologi- studi mengenai peradaban sebagai sebuah struktur tersendiri. Tiap peradaban memiliki struktur dan karakteristik tertentu dimana ia mempunyai simbol khusus dalam mengekspresikan tendensi dan energinya. Simbol inilah yang akan menetukan arah dari hasil peradaban baik dalam bidang sastra, pemikiran, seni dan lain-lain. Sebagian para filosof peradaban menyetujui terhadap prinsip dan paham umum yang dimiliki oleh tiap peradaban. Inilah yang amat menentukan karakteristik, ekspresi dan pembentukan ideologi suatu peradaban.

Pergulatan peradaban merupakan fenomena alam yang telah berjalan sepanjang zaman dengan berbagai situasi yang berbeda-beda. Sebagaimana firman Allah:

“Jika saja Allah tidak memenangkan tentara-Nya untuk mencegah perusakan, dan tidak mengalahkan orang-orang jahat dengan mengadu sesama mereka, niscaya bumi ini tidak akan terpelihara” (Q.S. Al-Baqarah: 251)..

Dan firman-Nya

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawâ'. Lalu kalian Kami jadikan, dengan keturunan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong" (Q.S. Al-Hujurat ayat 13).

Inilah yang mengantarkan manusia mengalami kemajuan dan struktur peradaban dapat berkesinambungan sebagaimana firman Allah:

“Sebab, masa- masa kemenangan memang akan selalu dipergilirkan oleh Allah di antara umat manusia” (Ali-Imran:140).

Suatu bangsa ketika sedang berada pada masa kejayaannya terkadang memberikan pengaruh pada peradaban lain, namun ketika mengalami kelemahan, cenderung dipengaruhi oleh peradaban lain. Tentu saja antara satu peradaban dengan peradaban lain berbeda-beda. Dalam setiap pergulatan, bangsa yang kuat hanya akan mengambil pengaruh positif dari peradaban lain, dengan harapan dapat menguatkan struktur serta dapat menampakkan karakteristik peradabannya. Sedangkan bangsa yang lemah cenderung mengadopsi segala sesuatu dari peradaban bangsa yang kuat, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan bagi peradabannya, baik yang sesuai dengan budaya dan dapat menguatkan struktur peradabannya ataupun yang bertentangan dan dapat melemahkan struktur peradabannya, bahkan barangkali ia sampai kehilangan karakteristik peradabannya.

Masyarakat muslim tidak mungkin menghargai identitas peradabannya sendiri, kecuali kalau mereka diperkenalkan pada identitas peradabannya. Dengan ini diharapkan akan menguatkan kepercayaan terhadap identitas peradabannya sendiri. Ketika seorang muslim benar-benar mengetahui identitas peradabannya, maka peradaban yang berlandaskan pada aqidah dan agama akan dapat beraktifitas kembali. Dengan demikian seorang muslim tetap menjadi saksi terhadap perjalanan sejarahnya. Firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (peradaban) kamu” (Q.S. Al-Baqarah:143). Kita mempunyai tanggung jawab atas aktifitas suatu masyarakat serta menciptakan perdamaian melalui da'wah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tanpa melihat idealisme dan perjalanan peradaban sejarahnya sendiri, seorang muslim tidak akan mengetahui identitas peradabannya. Dengan demikian ia tidak akan dapat memperkenalkan dirinya pada orang lain bahwa ia memiliki identitas dan karakteristik peradaban tertentu, serta tidak akan mampu berinteraksi dengan struktur peradaban lain melalui dialog intensif demi kebaikan umat manusia.

TUGAS MASUK DARI IRMA MELANTI
PGMI SEM 1 2009/2010
DOSEN : ALIMUDIN S.Pd.I