Selasa, 10 November 2009

IDENTITAS DAN RINGKUP PERADABAN ISLAM

Sekarang ini, banyak umat Islam yang tidak mengenali lagi peradabannya sendiri. Bahkan, sebagian pemikir dan intelektual Muslim bangga dengan peradaban dan pemikiran yang didapatkan dari Barat. Fenomena untuk menerapkan cara berpikir posmodernisme yang mengusung doktrin liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme, dan sebagainya telah banyak diagung-agungkan. Padahal, peradaban Barat itu tidak jelas asal usulnya.

Urgensi identitas peradaban

Kita tidak hanya mengesampingkan identitas peradaban yang kita miliki, lebih dari itu kita berupaya untuk menghapuskan sumber peradaban itu sendiri. Jika kemajuan peradaban dimulai dari pemikiran, maka solusi peradaban juga dimulai dari pemikiran pula. Menurut Malik bin Nabi, kemunduran dunia Islam bukan karena dunia Islam miskin, namun karena sikap subordinat atas peradaban asing dan kurang memperhatikan hal positif yang terdapat pada peradabannya sendiri. Hal itu dilakukan dengan upaya meghapus karakteristik identitas peradaban Islam serta merekonstruksi kembali dengan model peradaban Barat. Peradaban merupakan produk pemikiran pada suatu masa. Ia adalah sumber motivasi masyarakat untuk memasuki sejarah. Masyarakat ini akan membangun sistem pemikirannya sesuai dengan pilihannya. Langkah seperti inilah yang kita kehendaki karena lebih sesuai dengan akar peradaban dan karakteristik budaya kita yang jelas banyak memiliki perbedaan dengan budaya asing.

Pemahaman umat pada identitas peradabannya sendiri merupakan landasan dasar untuk membentuk struktur budaya. Hal ini sangat penting terutama dalam peralihan peradaban yang selalu dibarengi dengan sistem pemikiran, normatis, dan metodologi analisa. Pemahaman identitas peradaban diperoleh melalui sejarah, bukti-bukti sejarah, segala sesuatu yang mejadi faktor terbentuknya setiap kejadian dan kesadaran atas peninggalan sejarah. Karena sesungguhnya kebangkitan dan perkembangan budaya suatu bangsa banyak bergantung pada sikapnya terhadap sejarah, kesadaran atas warisan peradaban nenek moyang serta kepercayaan terhadab identitas dan arti keberadaan dirinya.

Pembaruan Islam dan pembangunan identitas peradaban tidak mungkin terwujud selama kita masih kehilangan pemahaman terhadap identitas dan akar ideologi yang membuat serta memberikan andil dalam pembentukan suatu bangsa. Karena dengan hal ini suatu masyarakat mempu merealisasikan norama susila yang dapat mengimbangi benturan dengan peradaban lain serta dapat bangkit menuju masa depan sesuai dengan harapan.

Dengan hilangnya identitas peradaban muslim -karena kita sebagai bangsa muslim yang pernah berada dibawah imperalisme serta bergesekkan secara langsung dengan budaya dan peradaban Barat, sebagaimana juga pernah dialami oleh bangsa bangsa Asia-Afrika, dan juga telah menjadi hukum alam bahwa negara yang kuat akan memaksakan adat istiadat dan tradisi negerinya ke negara yang kalah- kita masih mewarisi nila-nilai dan pengalaman sejarah dunia Barat. Bahkan sebagian nilai dan norma Baratpun kita jadikan tolak ukur dalam realitas kehidupan sosial. Demikianlah, kita lihat semua ini dijadikan sebagai sesuatu yang layak dijadikan barang percontohan untuk menuntun arah pemikiran kita, kita jadikan petunjuk dalam berijtihad tanpa memfilter terlebih dahulu apakah ia sesuai dengan identitas dan filsafat kita atau tidak. Apa saja yang kita yakini memiliki nilai peradaban, kita campur adukkan dengan Islam tanpa menganalisa terlebih dahulu apakah ia sesuai dengan Islam atau tidak.

Ini bearti problematika politik dan sosial -lepas dari problematika ilmiyah- relatif, karena sesuatu yang sesuai dengan masyarakat dimasa tertentu dan menjadi faktor utama kemajuan peradaban, di masyarakat lain belum tentu bermanfaat, bahkan mungkin dapat menimbulkan kehancuran dan keterbelakangan. Ilmu pengetahuan yang diadopsi dari bangsa lain kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam yang berlandaskan tauhid, lalu direkonstruksi ulang sehingga sesuai dengan tujuan dasar Islam, akan membentuk ilmu baru yang sesuai dengan wacana budaya Islam. Ia akan tampil beda dengan bentuk ketika masih berada pada budaya aslinya. Ia telah terbentuk sesuai dengan satu metodologi yang diatur oleh Islam, yang dijadikan alat untuk menegakkan agama dan kelangsungan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sesungguhnya budaya, pemikiran filsafat, sosiologi dan politik yang tumbuh di negara-negara Eropa merupakan hasil natural yang logis atas perjalanan peradaban Barat. Namun perpindahan pemikiran Barat ke suatu masyarakat yang mempunyai budaya, sosiokultur dan ideologi yang berbeda, harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang timbul dari idealis dan identitas umat sehingga ia dapat berperan dalam interaksi dengan peradaban lain.

Bagaimana sikap anda terhadap orang yang datang dan ingin menjual peradabannya kepada anda? Tidak semua idealis dijual-belikan seperti halnya peradaban. Kita tidak bisa menerima orang yang berupaya menjual kototan peradabannya kepada kita. Peradaban adalah hasil kerja keras suatu bangsa yang menginginkan kemajuan. Potensi manusia inilah yang akan membentuk satu ketentuan analisa dan realitas yang diambil dari sejarah. Hal ini akan menjadi ketentuan baku yang tidak mudah dirubah oleh waktu. Hanya masyarakatlah yang mungkin merubahnya. Suatu masyarakat yang baru lahir tidak mungkin langsung dapat bangkit berdiri, ia akan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.



Dunia intelaktual sebagai deskripsi dari identias peradaban.



Pemikiran dalam arti luas adalah sebuah peraturan yang digunakan untuk mengetahui masyarakat yang memiliki unsur-unsur normatis tertentu di dunia kebudayaan yang orisinil. Artinya bahwa aktifitas pemikiran harus mendiskripsikan loyalitas kepada identitas tertentu yang memiliki landasan dasar dan faktor pendukung tertentu pula. Semakin dekat seseorang dengan model yang ditentukan oleh identitas budaya dan loyalitas peradabannya sendiri, ia semakin mampu berinteraksi dengan aktifitas pemikiran dalam manyarakat dan bangsanya.

Karena tiap sejarah memiliki budaya tersendiri, dan tidak mungkin mendiskripsikan sejarah tanpa budaya, maka masyarakat yang kehilangan budayanya sudah pasti akan kehilangan sejarahnya. Budaya, termasuk juga pemikiran keberagamaan yang menyatu dengan manusia sepanjang sejarah dari zaman Adam AS, bukan untuk mendiskripsikan ilmu yang dipelajari manusia, karena sesungguhnya ia adalah inti dari peradaban. Ialah yang memberi makan janin peradaban dimasa perkembangannya. Ia adalah perantara yang membantu dalam pembentukan karakteristik masyarakat yang berperadaban. Ia adalah perantara yang membentuk bagian-bagian peradaban sesuai dengan tujuan mulia yang digariskan masyarakat untuk dirinya. Dan demikianlah tersusun sejarah.

Dengan demikian suatu budaya merupakan deskripsi yang hidup pada suatu bangsa. Ialah yang menentukan anatomi identitas dirinya dan keberadaannya. Ia pula yang menentukan jalan kehidupannya. Ia adalah ideologi dan prinsip yang diyakininya. Ia adalah peninggalan masa lalu yang dikhawatirkan akan hilang. Ia adalah hasil pemikiran yang ditakutkan akan terkikis. Pemahaman terhadap fungsi kebudayaan ini akan berimplikasi pada keyakinannya bahwa kebudayaanlah yang menjadi pembentuk utama identitas peradaban Islam.

Dalam merealisasikan pemikiran kontemporer selayaknya kita menyadari bahwa fungsi peradaban akan lebih aktif dari pada hanya sekedar menjadi paham pemikiran dan kebudayaan. Maksudnya bukan hanya sekedar menyatukan kesadaran individu terhadap landasan dasar Islam, namun yang selayaknya kita lakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa fungsi budaya yang memiliki korelasi dengan peradaban dapat menjadi pengikat antar golongan, generasi dan perbedaan status sosial. Fungis peradaban ini secara otomatis akan menggiring kita pada satu aktifitas lintas masa sehingga mampu menghapuskan batas-batas antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian fungsi kebudayaan peradaban bagi identitas seorang muslim akan menjadi kenyataan dalam rangka berdialog dengan budaya lain, sehingga dakwah Islam dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Fungsi budaya adalah memberikan bekal dengan suatu idealisme yang dapat menguatkan pondasi banguan peradaban sehingga dapat berinteraksi dengan peradaban yang berbeda. "Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk yang benar dan agama Islam agar dimenangkan-Nya atas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksinya." (Q.S Al-Fath:28).. Dari sini budaya akan menjadi sebuah kumpulan dari perasaan yang saling mengikat yang memungkinkan aktifitas peran budaya agar sesuai dengan pemahaman Islam mengenai perdadaban. Dengan demikian, peradaban akan berinteraksi dengan situasi yang dalam satu waktu dapat menjadi alat sekaligus praktek, karena sesungguhnya budaya adalah identitas dari suatu peradaban. Dengan demikian budaya menjadi perantara yang dapat mengikat idealisme dan paham Islam terhadap struktur dan perjalanan peradaban sepanjang sejarah.

Dunia intelektual dan dunia kebudayaan semakin nampak urgen -sebagai deskripsi mengenai identitas peradaban- dalam dua bentuk; bisa jadi ia dapat menjadi faktor pembangkit peradaban dan juga dapat memberikan implikasi pada kebangkitan peradaban, atau sebaliknya, ia dapat menjadi faktor penghalang perjalanan aktifitas peradaban. Dalam struktur peradaban, hal terpenting tidak terletak pada akal pemikiran, namun bagaimana kita mampu mengarahkan akal pemikiran agar semaksimal mungkin dapat aktif, dimana Ia tetap memiliki karakteristik ideologi dan pemikirannya. Dakwah Islam yang berperadaban dapat melepaskan manusia dari sikap lemah serta memberikan dorongan semaksimal mungkin agar dapat aktif sesuai dengan aqidah Islam.

Pasang surut aktifitas suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh pasang surutnya pengaruh prinsip yang merupakan syarat mendasar atas aktifitas peradaban, karena sesungguhnya ia dapat mengatur interaksi antar individu agar sesuai dengan kebutuhannya. Seorang intelektual yang mempunyai prinsip normatis selalu terdorong untuk menjalankan dua perbuatan; pertama adalah ilmu dan kedua mengamalkan ilmu.

Dengan demikian, seorang muslim kontemporer dalam berdialog dengan Barat akan berpijak diatas metodologi yang diambil dari pengalaman sejarahnya sehingga dapat menentukan beberapa hal penting, diantaranya adalah diperlukannya kejelasan atas karakteristik identitas peradabannya dalam berdialog dengan peradaban lain.









Westernisasi dan hilangnya kesadaran identitas peradaban.



Diatara fenomena krisis peradaban dan pemikiran yang sedang dialami dunia Islam adalah terperangkapnya intelektual Arab kedalam sikap subordinat terhadap budaya dan pemikiran Barat. Hal ini karena kekalahan peradaban sehingga setelah melalui gesekan peradaban yang tidak dapat dihindari antara tokoh intelektual muslim kontemporer dengan idealis dan paham pemikran Barat, para intelektual Arab menempatkan diri untuk menghadapi paham dan filsafat Barat. Sebenarnya sentral krisis yang sedang dihadapi intelektual Arab adalah karena mereka kehilangan identitas budaya dan warisan pemikiran. Padahal ia lah yang menentukan identitas ideologi dan idealis yang membentuk landasan dasar Islam. Sebearnya metodologi yang digunakan oleh tokoh intelektual Arab yang sudah terbaratkan dengan mengesampingkan tipe orisinalitas Islam -satu tipe peradaban yang telah terbukti dapat aktif serta menjadi percontohan peradaban pada waktu itu- sikap negatif terhadap identitas peradaban seperti inilah yang menjadi gambaran krisis pemikiran kita ketika berdialog dengan Barat. Mereka menguasai kita sementara kita sendiri kurang menghormati terhadap identitas Arab Islam.

Dalam menghadapi paham Barat, para tokoh intelektual Arab yang terbaratkan masih merasa bimbang, sementara sikap untuk melawan hegemoni Barat dalam bentuk peradaban modern ini juga semakin melemah. Imperalisme Barat telah meninggalkan pengaruh pada budaya Arab sehingga mereka berupaya membangun peradaban dengan tipe Barat dengan cara menghilangkan idealis umat dan identitas Islam. Dunia Islam sedang menghadapi trauma sebagaimana pernah dialami budaya Barat, yang secara khusus brimplikasi pada dua hal; pertama upaya menghadapi mereka semaksimal mungkin dan kedua upaya untuk mengalahkan mereka meskipun dengan cara kotor. Trauma ini menyebabkan sebagian tokoh intelaktual Islam hapir-hampir saja lumpuh dibenteng pertahanan kebudayaan sehingga mereka mencoba melarikan diri dari serangan budaya Barat. Mereka melemparkan senjata di medan perang karena merasa sudah kalah dalam pergulatan pemikiran antara masyarakat Islam dengan Barat, sehingga mereka menerima setiap nilai dan norma yang berasal dari budaya Barat. Hubungan yang sangat kacau antara sektor ekonomi, budaya dan politik pada masa ini menjadikan dunia Islam sebagai pintu Barat untuk menguasai dunia internasional. Mereka mengorientasikan pada penghancuran budaya Islam agar insan muslim mengikuti arah pemikiran Barat mereka.

Meskipun demikian -sebagaimana yang dikatakan Malik bin Nabi- dunia Islam tidak mungkin hidup mengisolasi dari dunia internasional. Dalam artian kita tidak akan memutus hubungan dengan peradaban Barat, namun bagaimana supaya interaksi dengan Barat dapat diatur sedemikian rupa? Kita tidak menolak dialog peradaban dengan Barat, lagipula keberadaan dan sumbangan peradaban Barat di dunia modern ini tidak dapat dipungkiri lagi. Dan hal ini menjadi bagian tak terpisahkan bagi umat manusia, sebagaimana halnya dengan sumbangan peradaban Islam ketika masih berkembang dan berpengaruh di dunia internasional kususnya kedunia Barat, baik secara pemikiran atau ilmu pegetahuan telah menjadi milik Barat. Meskipun demikian kita tetap menolak budaya Barat untuk dijadikan sebagai ganti budaya Islam. Pada dasarnya Barat belum menyingkirkan budaya, pemikiran dan ideologinya ketika ia mengambil peradaban Islam. Ditambah lagi saat ini peradaban Barat dijadikan alat untuk menggoncang budaya lain dengan jargon globalisasi yang merupakan bentuk lain dari imperalisme kontemporer.

Yang diinginkan oleh para intelektual yang telah terbaratkan adalah menggabungkan budaya Islam dengan Barat sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi Islam awal. Mereka tidak tahu kalau ketika Islam mengadopsi budaya lain, posisi peradaban Islam lebih kuat karena memang peradaban Islam sedang berada dipuncak kejayaannya. Lebih dari itu, peradaban Islam tidak mengadopsi peradaban lain hanya sekedar untuk meniru, namun untuk menyebarkan aqidah dan dakwah Islam. Menurut Insan muslim -dengan tetap berpegang pada alquran- tidak menjadi persoalan mengetahui budaya lain selama tetap berpegang teguh pada identitas ideologi umat dan struktur budayanya. Maka dari itu nasionalis Islam mampu mengembangkan sebuah peradaban luar biasa diseluruh segmen kehidupan yang diakui oleh para tokoh intelektual Barat sendiri.

Namun sekarang kejadiannya lain, yang kami maksudkan dengan interaksi dengan Barat bukan bearti menolak peradaban Barat, namun interaksi dengan menggunakan syarat tematis demi kemurnian peradaban Islam. Sikap prefentif kita bukan bearti sikap negatif yang melarang dan menolak interaksi denga peradaban Barat, namun yang diharapkan adalah sikap aktif yang tetap berpegang pada identitas peradaban. Dengan demikian kebangkitan kita di zaman modern ini bersumber dari identitas Islam, bukan dari bangsa lain. Sehingga kemajuan yang dicapai adalah deskripsi dari identitas umat Islam, dengan aqidah dan norma Islam. Perkembangan seperti ini yang akan menghasilkan metodologi kemanusiaan yang mempunyai banyak kelebihan dalam menuangkan peradaban Islam.

Arah pembentukan peradaban yang kebarat-baratan hanya akan menimbulkan pertentangan antara Eropa dan dunia Islam dengan tolak ukur kuat dan lemahnya suatu peradaban. Artinya pemikiran Arab akan datang dengan model yang dibuat Barat (kekalahan dunia Islam dan kemenangan Eropa modern). Dan hal ini akan berimplikasi pada pembentukan sejarah kita oleh Barat. Karena sebagai negara yang menang Barat merasa berhak memberikan atribut apa saja kepada negara yang kalah.

Para jurkam pembaratan menginginkan pengorbanan orisinalitas, warisan nenek moyang dan identitas kita demi keuntungan yang belum jelas. Sebenarnya berapa besarkah keuntungan yang akan kita dapat dari barter peradaban ini?

Kita -sebagaimana dikatakan oleh para intelektual Arab yang terbaratkan- akan mendapatkan kemodernan, padahal realitasnya lebih menguntungkan posisi Barat. Sebagai orang Arab, dengan memisahkan identitas Arab akan semakin mudah dibentuk sesuai dengan keinginan Barat, baik kita sadari atau tidak. Selama identitas kita sudah hilang, mereka akan membentuk kita agar sesuai dengan kondisi kehidupan mereka yang berbeda dengan realitas kehidupan kita.

Namun bagaimana mungkin para intelektual yang terbaratkan bisa kalah padahal mereka berupaya membangun peradaban Islam dengan peradaban Barat? Kekalahan mereka karena mereka menghina terhadap sejarah, budaya dan peradabannya sendiri. Mereka lebih mendahulukan membuang identitas Islam untuk kemudian bersikap subordinat dengan peradaban lain. Meskipun hal ini dibayar dengan harga mahal oleh masyarakat Arab dan dunia Islam. Meskipun demikian, para tokoh intelektual yang terbaratkan tidak dapat menandingi Barat, padahal mereka sudah kehilangan identitas dirinya.

Pada masa imperalisme, westernisasi adalah tujuan utama dunia Barat, karena dengan demikian Barat dapat memaksakan berbagai norma peradabannya, baik dari jalan pemikiran, ekonomi, politik dan lain-lain kepada para intelaktual muslim. Bahkan setelah mereka enyah dari dunia Arab-Islam pun sistem westernisasi terus berjalan. Hal ini dilaksanakan demi mewujudkan hegemoni Barat diberbagai bidang.

Bagaimana mungkin kita dapat melakukan dialog peradaban sementara diantara kita terdapat orang yang silau dengan budaya lain, bahkan mereka menghina budaya dan karakteristik peradabannya sendiri yang merupakan deskripsi orisinil identitas umat?



Dinamika peradaban menuntut dialog dengan peradaban lain



Diantara karakteristik pergerakan peradaban adalah bahwa peradaban tidak hanya terbatas pada studi geografis dan sosiologis, lebih dari itu, ia mengkaji suatu peradaban serta implikasinya terhadap budaya lain. Besar kecilnya sirkulasi dan pengaruh suatu peradaban bergantung pada landasan motivasi peradaban yang dapat mengimbangi antara tiap unsur yang mampu memberi andil dalam pembentukan struktur suatu bangsa serta proteksinya terhadap identitas peradabannya sendiri. Ditambah lagi dengan sifat memberi atau menerima baik positif atau negatif dari peradaban lain.

Para filosof dan intelektual peradaban mengatakan bahwa sirkulasi peradaban merupakan karakteristik terpenting dari unsur peradaban, dimana para sarjana sosiologi, peradaban dan sejarah memberikan prioritas dan perahtian khusus. Dari sana mereka menemukan jawaban atas perubahan peradaban sepanjang sejarah umat manusia, bahkan sebagian mereka memberikan nilai lebih terhadap aliran sirkulasi ini. Bagaimanapun juga, sirkulasi peradaban terkadang menimbulkan sifat saling memberi, mempengaruhi, dan reaksi, bahkan terkadang dapat menimbulkan sifat subordinat, dan terkikisnya identitas peradaban.

Saya tekankan lagi bahwa sebagian dari hasil peradaban Barat layak kita terima, bukan untuk mengambil basic ideologi Barat -karena kita juga memiliki identititas peradaban- namun melalui alat yang digunakan Barat dalam menggapai kemajuan teknologi baik dibidang teknik, revolusi informasi dan dunia elektronik dimana hal ini dapat dijadikan sebagai langkah awal menuju ketergantungan pada identitas peradaban kita sendiri dalam menumbuhkan teknik dan perkembaangan ilmu pengetahuan. Adapun idealisme, normatis dan pemikiran peradaban Barat, sangat bertentangan dengan karakteristik identitas bangsa kita. Karena rujukan ideologi Barat yang amat menentukan pergerakan, perjalanan dan tujuan idealismenya mengarah pada ideologi atheis (sekuler).

Dengan kita menyandarkan dialog peradaban pada idealisme dan pemikiran kita sendiri dan dengan menguatkan pondasi ideologi kita yang bertendensi kemanusiaan, semakin bertambah kesempatan budaya kita untuk menandingi arus peradaban dunia sehingga peradaban kita tidak terkikis dengan peradaban Barat yang punya obsesi untuk mengganti semua budaya untuk dikombinasikan dalam satu budaya dunia yang berarti menghapus kesempatan untuk mengembangkan peradaban dimasa mendatang.

Sesungguhnya mempertahankan budaya kita yang mulai terkikis dengan budaya lain -dan upaya untuk membangkitkan kreatifitas peradaban dengan melepaskan ideologi yang hanya sekedar sebagai lambang saja- dapat membantu peradaban kita agar tetap eksis serta memberikan kesempatan agar suatu peradaban selalu mengalami modernisasi dan kontinuisasi.

Artinya, sentral dialog dengan Barat harus direalisasikan sesuai dengan karakteristik peradaban bukan dengan mengikis identitas peradaban kita karena tertarik dengan slogan palsu yang sering dikumandangkan oleh para jurkam globalisasi mengenai satu peradaban, dan bahwa dunia adalah satu desa besar. Seorang muslim pantang mengadakan dialog peradaban, kecuali ia tetap konsiten terhadap identitas peradabannya sendiri. Hal ini tidak mungkin terwujud selama dalam realitas kita masih bersifat subordinat, baik secara politik, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dialog dengan peradaban lain adalah tugas berat karena hal ini menuntut solidaritas keinginan bersama, peradaban dan pendidikan identitas dalam ruang lingkup basic dan perinsip sehingga dapat membedakan antara peradaban Islam di tengah struktur berbagai peradaban kontmporer.

Tiap peradaban mengandung berbagai unsur sejarah, ideologi dan sosial yang menuntut -dari segi metodologi- studi mengenai peradaban sebagai sebuah struktur tersendiri. Tiap peradaban memiliki struktur dan karakteristik tertentu dimana ia mempunyai simbol khusus dalam mengekspresikan tendensi dan energinya. Simbol inilah yang akan menetukan arah dari hasil peradaban baik dalam bidang sastra, pemikiran, seni dan lain-lain. Sebagian para filosof peradaban menyetujui terhadap prinsip dan paham umum yang dimiliki oleh tiap peradaban. Inilah yang amat menentukan karakteristik, ekspresi dan pembentukan ideologi suatu peradaban.

Pergulatan peradaban merupakan fenomena alam yang telah berjalan sepanjang zaman dengan berbagai situasi yang berbeda-beda. Sebagaimana firman Allah:

“Jika saja Allah tidak memenangkan tentara-Nya untuk mencegah perusakan, dan tidak mengalahkan orang-orang jahat dengan mengadu sesama mereka, niscaya bumi ini tidak akan terpelihara” (Q.S. Al-Baqarah: 251)..

Dan firman-Nya

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dalam keadaan sama, dari satu asal: Adam dan Hawâ'. Lalu kalian Kami jadikan, dengan keturunan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal dan saling menolong" (Q.S. Al-Hujurat ayat 13).

Inilah yang mengantarkan manusia mengalami kemajuan dan struktur peradaban dapat berkesinambungan sebagaimana firman Allah:

“Sebab, masa- masa kemenangan memang akan selalu dipergilirkan oleh Allah di antara umat manusia” (Ali-Imran:140).

Suatu bangsa ketika sedang berada pada masa kejayaannya terkadang memberikan pengaruh pada peradaban lain, namun ketika mengalami kelemahan, cenderung dipengaruhi oleh peradaban lain. Tentu saja antara satu peradaban dengan peradaban lain berbeda-beda. Dalam setiap pergulatan, bangsa yang kuat hanya akan mengambil pengaruh positif dari peradaban lain, dengan harapan dapat menguatkan struktur serta dapat menampakkan karakteristik peradabannya. Sedangkan bangsa yang lemah cenderung mengadopsi segala sesuatu dari peradaban bangsa yang kuat, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan bagi peradabannya, baik yang sesuai dengan budaya dan dapat menguatkan struktur peradabannya ataupun yang bertentangan dan dapat melemahkan struktur peradabannya, bahkan barangkali ia sampai kehilangan karakteristik peradabannya.

Masyarakat muslim tidak mungkin menghargai identitas peradabannya sendiri, kecuali kalau mereka diperkenalkan pada identitas peradabannya. Dengan ini diharapkan akan menguatkan kepercayaan terhadap identitas peradabannya sendiri. Ketika seorang muslim benar-benar mengetahui identitas peradabannya, maka peradaban yang berlandaskan pada aqidah dan agama akan dapat beraktifitas kembali. Dengan demikian seorang muslim tetap menjadi saksi terhadap perjalanan sejarahnya. Firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (peradaban) kamu” (Q.S. Al-Baqarah:143). Kita mempunyai tanggung jawab atas aktifitas suatu masyarakat serta menciptakan perdamaian melalui da'wah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tanpa melihat idealisme dan perjalanan peradaban sejarahnya sendiri, seorang muslim tidak akan mengetahui identitas peradabannya. Dengan demikian ia tidak akan dapat memperkenalkan dirinya pada orang lain bahwa ia memiliki identitas dan karakteristik peradaban tertentu, serta tidak akan mampu berinteraksi dengan struktur peradaban lain melalui dialog intensif demi kebaikan umat manusia.

TUGAS MASUK DARI IRMA MELANTI
PGMI SEM 1 2009/2010
DOSEN : ALIMUDIN S.Pd.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar